Sosiolog Bencana yang juga Associate Professor dari Nanyang Technological University (NTU), Singapura, Sulfikar Amir menyebutkan bahwa narasi-narasi yang kini disampaikan pemerintah terkait penanganan Covid-19 berbeda dengan dua hingga tiga bulan lalu.
Dalam sebuah diskusi virtual, Sulfikar menyebut kalau narasi tiga bulan lalu yang dikeluarkan oleh pemerintah cenderung meremehkan masalah wabah virus Corona yang sudah tersebar di banyak negara.
“Sekarang mencoba mendominasi dengan cara yang sifatnya scientific (ilmiah), mendefinisikan risiko Covid-19 dengan scientific,” ucap Sulfikar, Jumat (12/6/2020).
Berubahnya narasi-narasi yang dikemukakan oleh pemerintah tersebut menurutnya adalah sebagai salah satu penopang untuk menggaungkan wacana tatanan hidup baru atau new normal di Indonesia.
“Ini terkait erat dengan keputusan pemerintah untuk membuka kembali aktivitas sosial, ekonomi akibat beban financial yang dialami pemerintah pusat,” ungkapnya.
“Dan wacana new normal didengungkan sejak dua minggu kemarin untuk menjustifikasi keputusan pemerintah akibat keterbatasan financial yang dialami oleh pemerintah di Jakarta,” tambah Sulfikar.
Contoh lainnya yang diperlihatkan pemerintah untuk menopang rencana new normal menurut Sulfikar adalah dengan membuat zonasi wilayah di Indonesia yang dibagi menjadi empat bagian, yakni zona risiko tinggi, sedang, rendah dan tak terdampak.
“Jadi ini salah satu bentuk politik risiko yang dimanifestasikan oleh pemerintah untuk tetap mendominasi wacana risiko di masyarakat, dan sebagai alat legitimasi dari keputusan-keputusan pemerintah yang sifatnya kontradiktif atau abnormal,” tutupnya.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: