Industri minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) Indonesia mengalami tekanan yang luar biasa dalam beberapa tahun belakangan ini. Uni Eropa yang menjadi tujuan utama ekspor CPO Indonesia justru melancarkan serangan berupa kampanye antisawit di seluruh Benua Biru.
Salah satu upaya Uni Eropa untuk menjegal Indonesia adalah mengusulkan proposal bea masuk sekitar 8%-18% untuk produk biodiesel dari Indonesia. Alasannya, minyak sawit yang menjadi campuran biodiesel Indonesia didapatkan dari cara-cara produksi yang tidak ramah lingkungan.
Rencana kebijakan itu dinilai akal-akalan saja karena Uni Eropa merasa terancam biodiesel Indonesia yang sangat kompetitif. Upaya menjegal produk minyak sawit RI sudah dimulai sejak lama. Uni Eropa sempat menuding Indonesia melakukan dumping atas produk ekspor biodiesel kemudian mengenakan bea masuk antidumping.
Akibatnya, ekspor minyak sawit anjlok. Kementerian Perdagangan mencatat, pada 2017, ekspor biodiesel ke Benua Biru hanya US$116 juta.
Indonesia menggugat dan berhasil memenangi sengketa melawan Uni Eropa di World Trade Organization. Hasilnya, pada 2018, angka ekspor biodiesel ke Eropa melonjak tajam menjadi US$572 juta.
Direktur Pengamanan Perdagangan Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Pradnyawati menyebut Uni Eropa telah merancang strategi untuk menghadang biodiesel Indonesia. Pasalnya, mereka memproduksi pesaing minyak sawit.
"Ini memang strategi besar mereka menghadang biodiesel Indonesia. Mereka akan melakukan segala cara agar minyak nabati dari Tanah Eropa tidak tersaingi minyak nabati dari belahan Bumi lain," tutur Pradnyawati, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
#KAMUHARUSTAU bahwa Eropa memproduksi minyak dari bunga matahari yang panennya terbatas musim, berbeda dengan CPO Indonesia yang mampu berporoduksi dalam jumlah banyak. Jika berkompetisi secara adil, Pradnyawati menjelaskan minyak rapeseed dan bunga matahari yang merupakan minyak nabati dari Eropa memang tidak akan mampu bersaing dengan minyak sawit.
Dari segi hasil, sawit ialah minyak nabati terproduktif karena secara rata-rata mampu menghasilkan 3 ton per ha. Tanaman lainnya hanya mampu memproduksi tidak lebih dari 1 ton per ha.
Lebih dari itu, kelapa sawit memiliki tingkat penggunaan lahan yang paling rendah jika dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak nabati lainnya.
Indonesia sendiri menyadari bahwa tekanan Eropa tidak bisa dibiarkan, karena itu pemerintah menyusun rencana agresif meningkatkan kebijakan kadar pencampuran biodiesel dari B20 (20% campuran fatty acid methyl esters, produk turunan minyak sawit) ke B30. Presiden Jokowi berharap pada Januari 2020 nanti pelaksanaan mandatori biodiesel B30 sudah dapat dimulai. Jokowi menilai penerapan kebijakan B20 sejak 2018 membawa hasil cukup signifikan bagi ekonomi RI.
"Saya ingin kurangi ketergantungan pada energi fosil dan paling penting kurangi impor minyak. Kalkulasi kala kita konsisten B20 ini, kita bisa hemat kurang lebih US$5,5 miliar per tahun. Ini angka yang gede banget," ujar Jokowi saat Rapat Terbatas soal evaluasi pelaksanaan mandatory biodiesel di kantor Presiden, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Melihat angka tersebut, Jokowi pun ingin B20 buru-buru pindah ke B30 di 2020 mendatang. Dan selanjutnya di akhir 2020 sudah loncat lagi ke B50.
Pemanfaatan kelapa sawit, lanjut Jokowi, selain untuk menyelamatkan devisa negara dari impor minyak, juga untuk mengatasi masalah yang menekan komoditas kelapa sawit selama ini.
"Tekanan pada kelapa sawit betul-betul perlu diantisipasi dari dalam negeri sehingga kita bisa punya bargaining position (posisi tawar) pada Uni Eropa dan negara lain yang coba membuat bargaining position kita lemah,” kata Jokowi.
Presiden juga telah meminta jajarannya untuk mendalami lebih jauh kemungkinan avtur dicampur CPO. Pencampuran dengan avtur, jika berhasil, bukan hanya meningkatkan pemanfaatan CPO, melainkan juga menekan impor avtur.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengatakan, program mandatori B20 saja bisa menghemat anggaran sebesar US$1,66 miliar. Penghematan tersebut dapat dilakukan lantaran berkurangnya impor solar selama Januari-Juli 2019. Realisasi program B20 per Juli mencapai 97,5%.
Dari sisi hulu, pemerintah bersama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) berkomitmen untuk menyelesaikan berbagai persoalan lainnya.
Direktur Utama BPDPKS Dono Boestami mengungkapkan salah satu masalah utama yang dihadapi ialah belum adanya data terkait dengan luas lahan, usia tanaman, jumlah produksi, dan profil petani sawit.
"Ada banyak pihak yang mengeluarkan data. Itu membuat upaya penyelesaiaan masalah sawit tidak pernah tuntas. Maka itu, kami akan melakukan konsolidasi data sawit melalui pendirian pusat data sawit nasional," ujarnya.
Pemerintah bersama BPDPKS juga akan mendorong dukungan kepada petani sawit swadaya melalui pendataan kembali jumlah dan profil petani, penyediaan kartu pekebun sawit, perbaikan logistik dan rantai pasok sawit, serta penyediaan layanan informasi bagi petani sawit melalui pengadaan referensi harga tandan buah segar dan aplikasi petani sawit.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: