INDOZONE.ID - Krisis di Suriah mencapai babak baru ketika Presiden Bashar al-Assad digulingkan oleh pemberontak dalam serangan kilat.
Dalam waktu kurang dari dua minggu, sejumlah kota besar jatuh ke tangan pemberontak, yang puncaknya adalah penguasaan ibu kota Damaskus pada 8 Desember 2024.
Kejadian ini menjadi titik balik dalam sejarah panjang perang saudara di Suriah, yang telah berlangsung selama lebih dari satu dekade.
Baca Juga: Rezim Assad Jatuh: Kekuasaan 13 Tahun Berakhir, Bagaimana Situasi Warga dan Suriah Selanjutnya?
Faktor Utama Keberhasilan Pemberontak
Keberhasilan pemberontak dalam mengalahkan rezim Assad sebagian besar disebabkan oleh melemahnya kekuatan pemerintah dan berkurangnya dukungan internasional.
Aron Lund, seorang peneliti dari Century International, menekankan bahwa "kelemahan rezim" menjadi faktor utama, ditambah dengan kemampuan pemimpin pemberontak, Abu Mohammed al-Jolani, yang berhasil membangun institusi dan menyatukan kekuatan pemberontak di bawah kontrolnya.
Perang saudara yang dimulai pada 2011 akibat penindasan terhadap aksi protes anti-pemerintah, sebelumnya mengalami stagnasi selama empat tahun terakhir. Namun, dengan serangan besar-besaran pada akhir November 2024, pemberontak mampu merebut kembali momentum.
Baca Juga: Israel Meningkatkan Militernya di Perbatasan Suriah: Sinyal Siaga atau Perang?
Militer Suriah yang Kian Lemah
Angkatan bersenjata Suriah mengalami penurunan signifikan dalam hal personel, peralatan, dan moral sejak perang dimulai. Pada tahun-tahun awal konflik, banyak tentara yang gugur, membelot, atau menghindari wajib militer. Hal ini membuat jumlah pasukan menyusut drastis, dari 300.000 menjadi kurang dari setengahnya.
Laporan Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia mengungkapkan bahwa tentara sering kali memilih mundur tanpa perlawanan berarti sejak serangan pemberontak dimulai pada 27 November 2024.
Kondisi ekonomi yang hancur juga memperburuk situasi militer. Meskipun Assad sempat menaikkan gaji tentara hingga 50% pada awal Desember 2024, langkah ini tidak cukup mengatasi ketidakpuasan di kalangan militer yang telah lama mengalami kesulitan.
Dukungan Sekutu yang Menurun
Selama ini, rezim Assad sangat bergantung pada dukungan Rusia dan Iran. Rusia, melalui intervensi militernya pada 2015, berhasil membantu Assad merebut kembali wilayah yang sebelumnya dikuasai pemberontak. Namun, saat ini, Rusia tengah fokus pada perang di Ukraina, sehingga kemampuannya untuk mendukung Assad terbatas.
Di sisi lain, Iran juga menghadapi tekanan besar akibat konflik yang meningkat dengan Israel setelah perang Gaza. Kelompok-kelompok pro-Iran di Suriah kehilangan kekuatan akibat pertempuran dengan Israel, sehingga mengurangi dukungan mereka terhadap Assad.
Menurut Nick Heras dari New Lines Institute, keberlangsungan kekuasaan Assad sangat bergantung pada sejauh mana Rusia dan Iran masih melihatnya sebagai aset strategis. Jika salah satu atau keduanya memutuskan bahwa Assad tidak lagi bermanfaat, maka kekuasaannya tidak akan bertahan lama.
Kelemahan Hizbullah di Suriah
Hizbullah, sekutu utama Assad dari Lebanon, juga mengalami kemunduran. Kelompok ini sebelumnya mengirim ribuan pejuang untuk mendukung rezim Assad sejak 2013. Namun, konflik terbaru dengan Israel memaksa Hizbollah menarik sebagian besar pejuangnya dari Suriah ke Lebanon selatan.
Selain kehilangan ratusan pejuang, Hezbollah juga kehilangan sejumlah pemimpin seniornya, termasuk Hassan Nasrallah, dalam serangan udara Israel. Kehilangan ini secara signifikan melemahkan peran Hizbollah dalam mendukung Assad.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyebut kejatuhan Assad sebagai "hasil langsung dari tekanan yang kami berikan kepada Iran dan Hizbullah, pendukung utama Assad."
Kejatuhan Bashar al-Assad menandai berakhirnya babak panjang konflik yang melanda Suriah selama lebih dari satu dekade.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Channelnewsasia.com