INDOZONE.ID - Pemerintah China mengumumkan kenaikan tarif secara besar-besaran terhadap barang-barang asal Amerika Serikat. Hal itu sebagai respons atas kebijakan tarif terbaru Presiden Donald Trump.
Kebijakan balasan ini, langsung memicu kekhawatiran pasar global dan mempertegas bahwa perang dagang AS-China 2025 semakin tak terkendali.
Dalam pernyataan resmi, Kementerian Keuangan China menyebutkan, bea masuk terhadap produk-produk AS akan dinaikkan menjadi 84 persen, dari sebelumnya direncanakan 34 persen.
Langkah ini merupakan bentuk reaksi China atas tarif Trump, yang sebelumnya menetapkan bea masuk hingga 104 persen terhadap barang-barang asal Tiongkok.
Baca Juga: Fakta-fakta Bea Masuk Barang dari China Capai 104 Persen Akibat Tarif Baru Trump
“Peningkatan tarif dari pihak AS terhadap China adalah kesalahan beruntun yang jelas-jelas melanggar hak dan kepentingan sah kami,” demikian pernyataan Kementerian Keuangan China.
Pemerintah Tiongkok menegaskan, satu-satunya jalan keluar dari konflik ini adalah dengan dialog, bukan tekanan ekonomi yang terus berlanjut. Beijing juga menyebut, langkah AS telah merusak sistem perdagangan global yang selama ini berbasis pada aturan multilateral.
China Juga Blacklist Perusahaan AI AS
Sebagai tambahan dari balasan tarif China ke AS, Kementerian Perdagangan Tiongkok juga mengumumkan akan memasukkan enam perusahaan teknologi kecerdasan buatan asal Amerika ke dalam daftar hitam, termasuk Shield AI dan Sierra Nevada Corp.
Langkah ini menunjukkan, ketegangan kini merambah ke sektor teknologi tinggi.
Sementara itu, Menteri Keuangan AS Scott Bessent menyayangkan keputusan China, menyebutnya sebagai langkah merugikan dan tidak akan menguntungkan Beijing.
Dalam wawancara dengan Fox Business Network, Bessent menyebut, China adalah pelanggar terbesar dalam sistem perdagangan internasional.
Baca Juga: Trump Minta Warga AS Sabar Usai Terapkan Tarif Dagang: Ini Revolusi, Kita Akan Menang!
Trump Serukan Perusahaan AS untuk Pulang Kampung
Merespons kebijakan tarif balasan ini, Presiden Trump belum memberikan tanggapan langsung. Namun, melalui platform media sosialnya, ia menyerukan perusahaan-perusahaan AS untuk memindahkan basis produksi mereka kembali ke Amerika Serikat.
“Inilah saat yang tepat untuk memindahkan PERUSAHAAN kalian ke Amerika Serikat, seperti yang telah dilakukan Apple dan banyak lainnya,” tulis Trump.
Presiden AS tersebut beranggapan, strategi tarif ini dapat membangkitkan kembali industri manufaktur dalam negeri. Namun, sejumlah ekonom dan pengusaha menilai bahwa relokasi produksi bukanlah hal yang bisa terjadi seketika dan justru berpotensi memicu inflasi.
Ketakutan Resesi Bayangi Pasar Global
Sejak perang tarif kembali memanas pekan lalu, pasar saham global mengalami penurunan tajam. Indeks Nikkei di Jepang merosot hampir 4 persen pada Rabu (9/4/2025) kemarin.
Sementara bursa saham di Paris dan Frankfurt, anjlok 4 persen dan London turun 3,5 persen.
Bank of England juga memperingatkan, konflik geopolitik ini, termasuk efek dari kebijakan bea masuk China produk Amerika, bisa mengancam stabilitas keuangan Inggris.
Italia bahkan bersiap memangkas proyeksi pertumbuhan ekonominya tahun ini dari 1,2 persen menjadi hanya 0,6 persen. Langkah serupa juga direncanakan oleh Spanyol.
Suku bunga acuan di India dan Selandia Baru diturunkan untuk meredam dampak negatif dari ketegangan dagang. Sementara harga minyak jatuh ke bawah US$60 per barel, level terendah dalam empat tahun terakhir.
Tarik Ulur Negosiasi dan Ancaman Baru
Gedung Putih menyebut, mereka tengah merancang 'kesepakatan khusus' dengan sejumlah negara mitra dagang, seperti Jepang dan Korea Selatan, yang sebelumnya dikenai tarif masing-masing 24 persen dan 25 persen.
Trump bahkan mengisyaratkan akan mengenakan tarif tinggi untuk produk farmasi dalam waktu dekat. Hal ini membuat saham-saham perusahaan farmasi langsung mengalami penurunan signifikan.
Di tengah ketegangan ini, banyak warga baik di AS maupun China mengungkapkan keresahan mereka.
“Saya harap semua pihak bisa duduk bersama dan menyelesaikan ini secara bertahap, bukan memperburuk keadaan," kata seorang warga Beijing, Yu Yan.
Sementara itu, warga New York, Anastasia Nevin, mengeluhkan harga-harga yang mulai melonjak.
“Yang penting sekarang kami bisa bertahan hidup,” imbuhnya.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Channelnewsasia.com