INDOZONE.ID - Di era kolonial, ketika akses pendidikan bagi perempuan masih sangat terbatas, Siti Soendari Darmobroto tampil sebagai tokoh yang memperjuangkan emansipasi perempuan Indonesia.
Melalui koran Wanito Sworo, ia menyoroti isu kesetaraan, pendidikan, dan pemberdayaan perempuan, menjadikan media massa sebagai alat perubahan sosial yang berpengaruh.
Baca Juga: Mengenal K.H. Hisyam: Tokoh di Balik Kemajuan Pendidikan Muhammadiyah
Siapa Siti Soendari?
Lahir di Pemalang, Jawa Tengah, Siti Soendari tumbuh dalam keluarga yang mendukung pendidikan. Berkat dukungan ayahnya, seorang pegawai pegadaian, ia berhasil menempuh pendidikan di HBS (Hoogere Burgerschool) Semarang—sebuah pencapaian langka bagi perempuan pribumi saat itu
Selain menjadi guru, Siti aktif di organisasi pergerakan seperti Jong Java dan VSTP. Dengan kemampuan multibahasa, ia menulis di berbagai media, mengangkat isu sosial dan perempuan.
Kedekatannya dengan tokoh pergerakan seperti Mas Marco Kartodikromo membuatnya diawasi oleh pemerintah kolonial.
Bahkan, Pramoedya Ananta Toer dalam Rumah Kaca mengenangnya sebagai simbol perempuan pemberani yang melawan ketidakadilan.
Baca Juga: Peran Gus Dur sebagai Tokoh NU dalam Penguatan Nasionalisme Kemanusiaan untuk Tangkal Radikalisme
Wanito Sworo: Media Perjuangan Perempuan
Pada 1913, Siti mendirikan dan menjadi redaktur koran Wanito Sworo. Awalnya berbahasa Jawa, koran ini kemudian menggunakan bahasa Melayu agar menjangkau pembaca yang lebih luas.
Isu-isu yang diangkat meliputi kritik terhadap poligami, budaya patriarki, dan pentingnya pendidikan perempuan. Koran ini juga mempromosikan organisasi perempuan seperti Wanito Oetomoe dan mendukung gerakan Poetri Merdika.
Dengan editorial yang tajam dan progresif, Wanito Sworo menjadi wadah bagi perempuan Indonesia untuk menyuarakan aspirasi mereka, sekaligus sarana modernisasi yang memperjuangkan kesetaraan.
Pidato Bersejarah di Belanda
Pada 1916, Siti Soendari diundang berpidato dalam Kongres Pengajaran Kolonial Pertama di Belanda.
Di hadapan peserta kongres, ia menyoroti ketimpangan pendidikan antara laki-laki dan perempuan serta menegaskan pentingnya bahasa Melayu sebagai alat pemersatu bangsa.
Ia juga mengusulkan kerja sama dengan pemerintah kolonial untuk mendirikan sekolah asrama bagi perempuan pribumi.
Gagasan ini mencerminkan pendekatan Siti yang kooperatif namun tetap kritis terhadap ketidakadilan kolonial, sembari mempertahankan nilai-nilai budaya lokal yang relevan.
Warisan Perjuangan
Siti Soendari dikenal sebagai tokoh feminis yang lantang menolak poligami dan ketidakadilan gender. Meski sikapnya sering kali berbeda dengan organisasi perempuan lain yang berhaluan agama Islam, ia tetap teguh pada idealismenya.
Melalui karya jurnalistik, pidato, dan aksi nyatanya, Siti membuktikan bahwa perubahan besar dimulai dari keberanian untuk menyuarakan kebenaran.
Ia bukan hanya pelopor emansipasi perempuan, tetapi juga tokoh penting dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia.
Perjuangan Siti Soendari Darmobroto mengajarkan kita bahwa keberanian dan konsistensi adalah kunci untuk menciptakan perubahan.
Di era modern ini, semangat yang ia bawa tetap relevan—sebuah pengingat bahwa perjuangan untuk kesetaraan belum selesai.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Fajar Historia: Jurnal Ilmu Sejarah Dan Pendidikan