Senin, 23 OKTOBER 2023 • 13:44 WIB

Sah! MK Tolak Gugatan Batas Usia Maksimal Capres-Cawapres 70 Tahun

Author

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kiri) dan Hakim Konstitusi Suhartoyo (kanan) memimpin sidang.
INDOZONE.ID - Mahkahamah Konstitusi (MK) menolak gugatan pembatasan usia capres-cawapres di usia 70 tahun.

Penolakan tersebut merupakan hasil putusan sidang atas perkara Nomor 102/PUU-XXI/2023, yang berlangsung di Gedung MK di Jakarta, Senin (23/10/2023).

"Menolak permohonan para pemohon untuk selain dan selebihnya," kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan.

Uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) mengenai batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) maksimal 70 tahun ini diajukan oleh 3 otang warga negara Indonesia (WNI).

Para pemohon adalah Wiwit Ariyanto, Rahayu Fatika Sari, dan Rio Saputro. Mereka diwakili oleh 98 orang advokat yang tergabung dalam Forum Aliansi '98 Pengacara Pengawal Demokrasi dan Hak Asasi Manusia.

Baca Juga: Putusan MK Jadi Karpet Merah, Gibran Diyakini Bakal Jadi Cawapres Prabowo

Para pemohon pada perkara itu mengajukan dua pokok permohonan. Pertama, memohon MK menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai "berusia paling rendah 40 tahun dan paling tinggi 70 tahun pada proses pemilihan".

Kedua, memohon Pasal 169 huruf d UU Pemilu mengatur norma tambahan menjadi "tidak pernah mengkhianati negara, tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi, tidak memiliki rekam jejak melakukan pelanggaran HAM yang berat masa lalu, bukan orang yang terlibat dan/atau menjadi bagian peristiwa penculikan aktivis pada tahun 1998, bukan orang yang terlibat dan/atau pelaku penghilangan orang secara paksa, tidak pernah melakukan tindak pidana genosida, bukan orang yang terlibat dan/atau pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dan tindakan yang anti demokrasi, serta tindak pidana berat lainnya".

Terkait batas usia maksimal capres-cawapres menjadi 70 tahun, MK berkesimpulan bahwa permohonan tersebut telah kehilangan objek, karena Pasal 169 huruf q UU Pemilu telah memiliki pemaknaan baru sebagaimana putusan MK terbaru pada tanggal 16 Oktober 2023.

"Pokok permohonan para pemohon sepanjang pengujian norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah kehilangan objek," kata Anwar membacakan konklusi.

Sementara itu, terhadap permohonan penambahan norma baru pada Pasal 169 huruf d UU Pemilu, MK berpendapat bahwa permohonan pemohon dapat menimbulkan redundansi atau kelimpahan makna.

Baca Juga: Dewan Pembina Gerindra Rapat Usai MK Putus Usia Cawapres Bisa Kurang 40 Tahun, Komunikasi sama Gibran

Redundansi tersebut, menurut MK, berdampak pada adanya pengulangan makna yang memiliki kecenderungan keragu-raguan, dan justru dapat mempersempit cakupan norma dasar yang secara natural terdapat dalam Pasal 169 huruf d UU Pemilu dimaksud.

MK pun menegaskan bahwa pasal tersebut sesungguhnya telah mencakup makna sangat luas, yaitu semua jenis tindak pidana berat, termasuk tindak pidana yang dimaksud oleh para pemohon sebagaimana petitum permohonannya.

Oleh sebab itu, MK menyatakan pokok permohonan para pemohon terkait Pasal 169 huruf d UU Pemilu tidak beralasan menurut hukum.

"Pokok permohonan para pemohon sepanjang pengujian norma Pasal 169 huruf d UU Nomor 7 Tahun 2017 adalah tidak beralasan menurut hukum," ujar Anwar.

Atas putusan tersebut, terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari seorang hakim konstitusi, yakni Hakim Suhartoyo.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber: