Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah (Foto: Antara/HO)
Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah baru-baru ini menyebut bahwa upah mininum bagi pekerja di Indonesia terlalu tinggi. Ia juga bilang kalau hal itu bahkan membuat sejumlah pengusaha tidak sanggup untuk memenuhinya.
"Kondisi upah minimum yang terlalu tinggi menyebabkan sebagian besar pengusaha tidak mampu menjangkaunya dan akan berdampak negatif terhadap implementasinya di lapangan," ujar Ida dalam konferensi pers yang disampaikan secara virtual, Selasa (16/11/2021).
Tak ayal, pernyataannya itu membuat gaduh dan dipersepsikan sebagai bentuk pernyataan yang tidak simpatik pada nasib kaum pekerja.
Belakangan, setelah pernyataan tersebut menuai kegaduhan, Kemnaker melalui Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Dita Indah Sari menjelaskan maksud yang disampaikan Ida soal upah minimum tersebut.
Berikut empat pembelaan dari stafsus Ida.
Pertama, Dita mengatakan bahwa pernyataan Ida yang menyebutkan upah minimum terlalu tinggi itu didasarkan pada komparasi atau pembanding nilai produktivitas tenaga kerja di Indonesia.
Dita menyebutkan nilai produktivitas tenaga kerja di Indonesia cenderung rendah jika dibandingkan dengan upahnya.
"Ketika Ibu (Menaker Ida) mengatakan bahwa upah minimum yang ada ketinggian, itu bukan menganggap bahwa pekerja itu sah mendapatkan upah lebih rendah," kata Dita melalui keterangan pers.
Dita menyebut, nilai efektivitas tenaga kerja di Indonesia masuk ke dalam urutan ke-13 di Asia.
"Baik jam kerjanya maupun tenaga kerjanya, ini umum secara nasional. Bukan berarti semua orang layak dikasih gaji kecil," kata Dita, membela Ida.
Kedua, lanjut Dita, dari sisi jam kerja saja, di Indonesia sudah terlalu banyak hari libur bagi pekerja.
Dita membandingkan hari libur pekerja di Indonesia dengan negara Asia Tenggara lainnya, dan menyimpulkan bahwa jumlah hari libur di Indonesia masih terlalu banyak.
"Pada hari libur, di Indonesia dalam setahun ada 20 hari libur, itu belum ditambah beragam cuti, mulai dari cuti bersama, cuti tahunan, cuti kelahiran anak, cuti khitanan, cuti menikah, hingga cuti keluarga meninggal. Sementara itu, di Thailand setahunnya cuma ada kurang lebih 15 hari libur saja," jelas Dita.
Selain itu, Dita juga menyebut bahwa jam kerja di Indonesia juga tergolong sedikit dibanding di negara-negara lain di Asia Tenggara.
Dibandingkan Thailand, sebagai contoh, seminggu jam kerja mencapai 42-44 jam, sementara di Indonesia hanya 40 jam.
Dengan sedikitnya jam kerja, menurut Dita, hasil kerja yang dilakukan tenaga kerja di Indonesia pun menjadi minim. Otomatis nilai produktivitas pun jadi rendah.
"Di situ pembandingnya karena nilai jam kerja jadi lebih sedikit. Makanya, upah itu ketinggian, tidak sesuai dengan produktivitas jam kerja dan efektivitas tenaga kerja," terang Dita.
Menurut Dita, kalau upah tidak cocok dengan hasil kerja, kesimpulannya upah terlalu tinggi.
Dita bilang, data membuktikan nilai produktivitas tenaga kerja di Indonesia memang rendah. Di Thailand, poinnya mencapai 30,9, sedangkan di Indonesia hanya 23,9 poin.
"Bila bicara nominal, upah minimum di Indonesia terlalu ketinggian. Di Thailand dengan nilai produktivitas 30,9 poin, upah minimumnya mencapai Rp4.104.475,00, upah minimum itu diberlakukan di Phuket. Sementara di Indonesia, dengan upah minimum di Jakarta mencapai Rp4.453.724,00, padahal nilai produktivitasnya cuma mencapai 23,9 poin," kata Dita.
Sebagai informasi, upah minimum Jakarta yang dimaksud adalah simulasi terakhir dari Kemenaker dan BPS upah minimum pada tahun 2022.
Dalam simulasi itu upah minimum naik 1,09 persen secara nasional, Jakarta menjadi provinsi dengan upah minimum tertinggi.
Ida sebelumnya juga menyampaikan, apabila upah minumum terlalu tinggi, maka akan berpotensi PHK besar-besaran.
"Apabila ditetapkan lebih tinggi dari ketentuan akan berpotensi terhambatnya perluasan kesempatan kerja, kemungkinan terjadinya substitusi tenaga kerja ke mesin itu juga akan tinggi. Kita tidak berharap adanya PHK, karena ini memicu terjadinya PHK," ujarnya.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: