Menteri Keuangan Sri Mulyani dapat penghargaan internasional. (Instagram/Sri Mulyani)
Institut Keuangan Internasional (IIF) menganugerahi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dengan penghargaan bertaraf internasional Distinguished Leadership and Service Award atau Penghargaan Kepemimpinan dan Layanan.
Kabiro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Rahayu Puspasari menyebutkan penghargaan ini diberikan pada pertemuan tahunan anggota IIF di Washington, D.C. yang dilaksanakan pada 11 Oktober 2021.
"Ini merupakan penghargaan bergengsi dari asosiasi global industri keuangan yang memiliki lebih dari 400 anggota dari 70 negara, termasuk Indonesia," kata Rahayu Puspasari dalam keterangan pers seperti yang dikutip Indozone, Selasa (12/10/2021).
Ia menjelaskan kalau penghargaan ini diberikan sebagai pengakuan kepada individu yang telah memberikan kontribusi yang luar biasa secara konsisten pada kesehatan ekonomi global dan sistem keuangan dengan kepemimpinannya.
Penganugerahan ini dinilai sebagai bentuk kerja keras yang dilakukan Menteri Keuangan sebagai seorang pemimpin dan sebagai figur publik telah berkontribusi menyelamatkan tidak hanya stabilitas ekonomi dalam negeri, tapi juga dunia.
"Penghargaan ini juga menjadi kebanggaan Kementerian Keuangan sebagai institusi yang berada di bawah kepemimpinan beliau," katanya.
Dalam pertemuan tahunan IIF yang merupakan bagian dari pertemuan tahunan IMF-World Bank Tahun 2021 ini, Menteri Keuangan juga diminta untuk menjadi panelis pada sesi Pembuat Kebijakan Asia (Asia Policymaker session) bertajuk “Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan dan Stabilitas Keuangan dalam Tantangan Ketimpangan, Dekarbonisasi, Digitalisasi, serta Utang Publik” (Sustainable Economic Growth and Financial Stability in a Diverging, Decarbonizing, Digitizing, Indebted World).
Pada sesi panel, Menkeu membahas berbagai kebijakan strategis yang telah dilakukan Indonesia sejak pandemi, antara lain kebijakan penanganan pandemi, reformasi perpajakan termasuk pengenalan Pajak Karbon dan peran sektor swasta dalam pengendalian perubahan iklim, serta Presidensi G20 Indonesia yang akan segera serah terima dari Italia pada akhir Oktober ini.
Sejak awal pandemi, tujuan utama Pemerintah Indonesia fokus pada upaya melindungi kesehatan masyarakat, mempertahankan daya beli masyarakat, serta melindungi pelaku usaha dari kebangkrutan.
“Respons Pemerintah Indonesia konsisten difokuskan pada tiga aspek, yaitu (1) intervensi kesehatan, (2) perlengkapan keselamatan dan pemulihan, serta (iii) agenda reformasi struktural yang berkelanjutan. Dukungan fiskal terus disalurkan untuk upaya penanganan pandemi terutama untuk 3T (testing, tracing, treatment), penguatan sistem kesehatan, vaksinasi gratis, dan insentif tenaga kesehatan. Pemerintah berkomitmen untuk segera mencapai kekebalan kelompok dengan menargetkan vaksinasi bagi 208 juta penduduk atau 416 juta suntikan vaksin”, ungkap Menkeu Sri Mulyani.
Untuk mengejar target ini, Pemerintah telah mempercepat proses vaksinasi sehingga mencapai angka 1,5 hingga 2 juta suntikan setiap harinya.
Pandemi memang merupakan krisis kesehatan, tapi kesejahteraan masyarakat juga tidak dapat diabaikan begitu saja. Mereka yang sumber pencahariannya menurun drastis karena pandemi tetap perlu dibantu agar bertahan hidup.
Untuk itu, Pemerintah konsisten menyalurkan bantuan melalui Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk mempertahankan kualitas hidup dan daya beli masyarakat.
Program PEN telah membantu jutaan rumah tangga miskin dan rentan untuk bertahan, jutaan pelajar dan pengajar untuk belajar secara daring atau online, memberikan insentif kepada dunia usaha berupa insentif pajak, dan pencegahan pemutusan hubungan kerja.
Total alokasi dana PEN tahun 2021 mencapai Rp744,77 triliun atau sekitar 4,5% dari PDB.
Program ini berfungsi efektif bagi pengendalian pandemi Covid-19 di Indonesia yang lebih lanjut mengakselerasi pemulihan ekonomi bagi dunia usaha dan rumah tangga dari kuartal 3 2021 hingga saat ini. Seiring pemulihan, deficit fiskal juga terus turun dari 2020 sebesar 6,14% (realisasi 2020), menjadi 5,59% (APBN 2021), dan 4,85% pada APBN 2022 yang baru saja disahkan.
Selanjutnya, momentum krisis mendorong Pemerintah untuk melangsungkan reformasi structural untuk meningkatkan daya saing Indonesia. Reformasi structural dilaksanakan untuk memberi nilai tambah bagi Indonesia yang berbasis sumber daya alam.
Salah satu bagian penting dari reformasi structural adalah reformasi perpajakan melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang disepakati bersama DPR pada 7 Oktober 2021.
Reformasi ini dilakukan untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil, memberikan kepastian hukum, serta efisien dari segi biaya kepatuhan maupun administrasi.
Salah satu aspek yang menjadi terobosan baru dalam UU HPP ini dan mendapatkan perhatian internasional adalah pengenalan Pajak Karbon.
Pajak Karbon disambut secara positif dalam pertemuan IIF 2021, bahkan IIF menyebut Indonesia sebagai juara atau champion untuk upaya penendalian perubahan iklim di dunia.
Menanggapi hal ini, Sri Mulyani menyampaikan bahwa pajak karbon adalah bukti bahwa Indonesia sudah ambil bagian dalam upaya pengendalian perubahan iklim, dan seyogyanya negara lain juga mengambil bagiannya.
Pengenalan pajak karbon terkait dengan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada 2030 sebesar 29% dengan upaya sendiri (business as usual/BAU) atau hingga 41% dengan bantuan internasional dalam Paris Agreement.
Di samping pajak karbon, Pemerintah juga telah melakukan berbagai upaya lainnya termasuk penandaan anggaran iklim (climate budget tagging) dalam APBN.
Alokasi anggaran pemerintah hanya mampu membiayai 21,3 persen dari total anggaran yang dibutuhkan sehingga Indonesia masih membutuhkan kerjasama dari internasional dan swasta.
Ketika ditanya mengenai bagaimana memastikan negara lain mengambil langkah serupa di Indonesia, Menkeu menjawab, “Kuncinya adalah pajak karbon yang akan menguatkan eksistensi pasar karbon. Pasar karbon memastikan bahwa upaya pengendalian perubahan iklim menjadi tidak hanya adil (just) tetapi juga terjangkau (affordable) karena sifatnya memberi insentif bagi swasta untuk berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim. Dengan adanya mekanisme ini, negara berkembang diharapkan banyak yang ikut”.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: