Basis Hargito Al Basiran, eks-tapol Orde Baru di Yogyakarta. (YouTube)
Era Orde Baru sudah lama berlalu. 23 tahun sudah. Namun, residunya masih tersisa hingga sekarang, terutama menyangkut sejarah kelam perihal Partai Komunis Indonesia (PKI) dan orang-orang yang dianggap sebagai simpatisannya.
Yang paling merasakan dampak dari residu itu adalah para eks tahanan politik (eks tapol), yang dulu pernah dipenjara tanpa peradilan. Mereka-mereka yang dibuang ke penjara-penjara, baik di kota maupun di pelosok, dan menjalani kerja paksa selama bertahun-tahun.
Residu yang dimaksud adalah adanya label ET (singkatan dari eks tapol) pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) para eks-tapol. Label itu sengaja disematkan untuk membedakan mereka dari penduduk yang bukan eks-tapol.
Mengutip Dhianita Kusuma Pertiwi dalam tulisan di blognya, label ET ini diawali dengan Intruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 32 tahun 1981.
Instruksi tersebut memerintahkan kepada para lurah/kepala desa untuk melakukan pengawasan terhadap bekas tawanan dan bekas tahanan G-30-S/PKI.
Dengan bekal instruksi tersebut, para pekerja administrasi di daerah-daerah lantas melakukan pendataan yang kemudian dikirimkan ke pusat agar bisa diterbitkan kartu identitas khusus bagi eks-tapol.
Para era Gus Dur sebagai presiden, label ET ini pernah dicabut. Gus Dur yang dikenal sebagai sosok pemimpin yang peduli pada kaum minoritas dan tertindas, masygul melihat para eks tapol mengalami kesulitan hidup.
"Lha wong Gusti Allah saja kasihan kepada mereka (PKI dan simpatisannya), kenapa ini masih ada pandangan sempit seperti itu?" kata Gus Dur suatu kali.
Namun seiring berjalannya waktu, dan Gus Dur sudah almarhum, label ET ini seolah kembali berlaku pada KTP eks-tapol.
Buruknya citra PKI dan simpatisannya, yang dikonstruksi sedemikian rupa oleh Orde Baru, membuat para eks tapol menghadapi banyak kesulitan dalam hidup pascabebas dari penjara. Salah satunya adalah mereka sulit mendapatkan pekerjaan.
Label ET di KTP mereka membuat calon majikan atau pemberi kerja berpikir ulang untuk merekrut eks-tapol sebagai pekerja mereka.
Namun tak cukup sampai di situ saja. Dampak pelabelan ET atau status eks tapol ini juga turut dirasakan oleh anggota keluarga mereka, terutama keluarga inti seperti anak atau saudara kandung yang tak tahu apa-apa.
Saat era rezim Orde Baru, pemerintah bahkan membuat aturan bagi warga Indonesia untuk memiki 'Surat Keterangan Bersih Diri' sebagai persyaratan untuk mendaftar sekolah atau bekerja di lembaga negeri. Dan para keturunan eks-tapol tidak bisa mendapatkan surat keterangan tersebut karena dianggap sebagai orang yang ‘tidak bersih’.
"Anak cucu kita yang belum lahir saja sudah ditentukan dosanya kok. Sekolah gak boleh sampai tinggi-tinggi, kemudian bekerja di pemerintahan gak boleh, apalagi menjadi militer. Itu kan diskriminasi besar," ujar Basis Hargito Al Basiran, salah seorang eks-tapol Orde Baru di Yogyakarta.
Basis, yang lahir pada 21 Juli 1945, mengatakan bahwa label ET membuat dirinya kesulitan mencari pekerjaan.
"Sing KTP-ne eneng ET-ne (yang KTP-nya ada ET-nya) ndak boleh jadi pengurus kampung," katanya.
Basis juga menceritakan titimangsa ketika dirinya diciduk pada masa bergejolak 1965.
Ia yang waktu itu masih duduk di bangku Sekolah Rakyat (setara SD sekarang), ditangkap tanpa memahami alasannya. Yang ia tahu, waktu itu ia hanya aktif bergiat dalam bidang kesenian.
"Saya gak tahu apa-apa. Saya waktu itu duduk di sekolah dasar, kalau dulu SR. Saya waktu itu sudah berkecimpung dalam bidang seni budaya, terutama tari-tarian, gamelan, ketoprak, maupun lawak. Saya sudah main film di beberapa tempat. Pas ada kejadian '65, saya dianggap sebagai anggota Lekra," katanya, seperti disimak Indozone melalui tayangan di kanal YouTube Abdul Kholiq.
Lekra--salah satu sayap PKI dalam bidang kesenian--pada masa itu memiliki semboyan bahwa 'seni untuk rakyat', bukan seni untuk seni.
"Mungkin karena tari-tarian, ketoprak, sandiworo itu penuh dengan kritik-kritik, mungkin itu yang membuat saya dianggap sebagai anggota Lekra," kata Basis, yang ditahan dari tahun 1965 hingga 1969.
Basis mengenang bagaimana waktu itu ia ditangkap dan dipenjarakan tanpa pengadilan. Menurutnya, pengadilan sengaja tidak dilakukan untuk menutupi siapa biang kerok G30S.
"Menurut saya yang menjadi dalangnya, tidak lain ya Pak Harto itu. Pak Harto itu boleh dikatakan naga berkepala dua. Kalau orang PKI berhasil dia di atas, kalau PKI seperti sekarang dia tetap di atas," kata Basis.
Basis mengisahkan, pada masa itu, yang ditangkap bukan hanya orang-orang yang memang tergabung dalam PKI, tetapi juga orang-orang yang kritis terhadap Orde Baru.
"Orang-orang yang progresif, revolusioner, berjiwa nasionalis, mereka ditangkap. Politik itu memang jahat," katanya.
Perihal label ET pada KTP eks tapol ini juga direkonstruksi oleh Martin Aleida dalam sejumlah cerpennya yang pernah tayang di Kompas. Antara lain 'Ode untuk Selembar KTP' dan 'Tak Ada Jalan Balik ke Buru'.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: