Masjid Ahmadiyah di Sintang pascaperusakan. (Ist)
Konflik terkait keberadaan masjid jemaah Ahmadiyah di Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, masih terus berlanjut.
Almarhum Plt Bupati Sintang Yoseph Sudiyanto sempat mengeluarkan surat perintah pembongkaran masjid Ahmadiyah tersebut melalui surat Bupati Sintang Nomor 331.1/4110/Satpol.PP-B/2021, tertanggal 8 September 2021.
Jemaah Ahmdiyah diminta untuk membongkar sendiri masjid tersebut.
Sudiyanto memberikan tenggat waktu 30 hari sejak surat perintah itu dikeluarkan. Jika tidak dituruti, pihaknya akan membongkar masjid tersebut.
Surat perintah itu kemudian disusul oleh surat edaran Gubernur Kalimantan Barat pada tanggal 17 September 2021.
Gubernur Kalbar menerbitkan surat edaran bernomor 450/3278/BKBP-D1 yang kembali merujuk ke Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Mendagri tahun 2008 agar pengikut Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok agama Islam, serta masyarakat agar tidak bertindak melawan hukum terhadap pengikut JAI.
Surat edaran itu meminta MUI dan penyuluh agama untuk mengelola rumah ibadah; serta pemerintah daerah bersama MUI dan Tim Pakem menangani pelanggaran keputusan bersama.
Di samping itu, surat edaran ini meminta Tim Pakem agar membina dan mengawasi ketaatan pengikut Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dalam melaksanakan Keputusan Bersama guna menjaga kerukunan dan persatuan nasional.
Menanggapi hal itu, SETARA Institute menyampaikan kecaman atas sikap Plt Bupati Sintang dan surat edaran Gubernur Kalbar.
Menurut SETARA, surat edaran tersebut problematik, sebab salah dalam memposiskan MUI dalam peristiwa kekerasan atas JAI Sintang.
"Meninjau anggaran dasar MUI, MUI bukan institusi negara dan kedudukan MUI setara dengan organisasi masyarakat lainnya, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Oleh karena itu, MUI tidak dapat menangani pelanggaran keputusan bersama dan tidak dapat pula mewakili suara umat Islam yang beragam terkait pengelolaan masjid JAI," ujar Direktur Riset SETARA Institute, Halili Hasan dalam keterangan pers yang dikutip Indozone pada Selasa (21/9/2021).
Dalam pandangan SETARA Institute, penugasan Tim Pakem untuk mengawasi JAI yang ditujukan untuk menjaga kerukunan hanya akan mewujudkan kerukunan semu yang dipaksakan.
"Kerukunan semu ini berpotensi menjadi konflik apabila disulut dengan pemantik tertentu, seperti politik identitas dalam dinamika politik lokal. Maka, kerukunan semu ini tidak akan bisa menjamin persatuan nasional sebagaimana diharapkan oleh Gubernur Kalimantan Barat dalam surat edaran tersebut. Kerukunan yang berkelanjutan harus lahir dari kesadaran masyarakat. Maka dari itu, untuk mewujudkan kerukunan yang berkelanjutan, pemerintah perlu melibatkan JAI dan elemen-elemen masyarakat dalam dialog, bukan dengan koersi maupun keputusan sepihak," kata Halili.
Berkenaan dengan kelembagaan Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem), SETARA Institute mendesak Jaksa Agung untuk mencabut Keputusan Jaksa Agung RI No.Kep-004/J.A/01/1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat.
"Artinya, Kejaksaan Agung mesti membubarkan Pakem, dari pusat hingga daerah. Pakem tidak sesuai dengan prinsip demokrasi dan HAM, karena memberikan kewenangan kepada negara untuk merestriksi hak warga untuk memeluk agama dan berkeyakinan sesuai dengan hati nurani. Selain itu, kelembagaan Pakem bertentangan dengan semangat kebinekaan yang mestinya memberikan ruang kepada seluruh latar belakang anak bangsa, termasuk agama dan kepercayaan, untuk memperkaya keragaman Indonesia," lanjut Halili.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: