Kategori Berita
Media Network
Rabu, 14 APRIL 2021 • 15:38 WIB

Abdullah Hehamahua: Polisi Tanpa Sadar Melanggar HAM Berat saat Tembak Mati 6 Laskar FPI

Kiri: Anggota Laskar FPI yang ditembak mati. (ist); Kanan: Adegan penembakan 6 laskar FPI. (ANTARA/Muhamad Ibnu Chazar)

"Dalam tuntutan kepolisian menyatakan Pasal 338 (pembunuhan) dan 351 (penganiayaan yang mengakibatkan kematian), berarti secara tanpa sadar polisi mengakui ada pelanggaran HAM berat karena ada penganiayaan."

Pernyataan itu diucapkan oleh Ketua Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) Laskar FPI, Abdullah Hehamahua, dalam tayangan di kanal YouTube Ustadz Demokrasi pada 13 April 2021.

Menurut Abdullah, kasus penembakan mati 6 anggota laskar FPI tersebut bersifat politis, alih-alih kriminal murni. Ia mengaitkan kasus tersebut dengan kepulangan Rizieq Shihab (HRS) dari Arab Saudi.

Menurut pengakuannya saat bertemu dengan HRS di Mekkah, Arab Saudi tahun 2019, saat itu pemerintah Indonesia tengah melarang HRS keluar dari Arab.

"Kenapa tiba-tiba di tahun 2020 pemerintah begitu welcome terhadap Habib Rizieq," katanya.

Bukti bahwa kasus tersebut politis, kata Abdullah, dapat dilihat dari rangkaian kegiatan FPI dan Rizieq semenjak pulang dari Arab.

"Nikahan itu aparat pemerintah tahu, intel tahu, kenapa tidak diantisipasi? Ini kan semacam dijebak. Lalu terjadi kasus pelanggaran prokes. Bayar cash Rp50 juta. Ini soal politik, karena 2017, dalam teori politik apapun, Ahok harus menang jadi gubernur," katanya.

Abdullah juga mengungkap bagaimana luka yang dialami 6 orang tersebut saat jenazah mereka dimandikan.

Luka-luka tersebut, menurut Abdullah, tidak mungkin dilakukan polisi di dalam mobil.

"Saksi (mengatakan), ketika jenazah dimandikan, rata-rata ada dua peluru, sebelah kiri jantung, kemaluan dianiaya siksa, bagian belakang luka bekas, dan bagian depan luka bakar. Kalau Komnas HAM mengatakan di dalam mobil, bagaimana menganiaya di dalam mobil?" katanya.

Sebelum menyampaikan itu semua, Abdullah terlebih dahulu mengecam tindakan penembakan mati 6 anggota Laskar FPI tersebut. 

"Kucing meninggal saja saya sedih. Ada yang menganiaya saya marah. Ini enam orang. Anak muda yang mempunyai potensi menjadi calon pemimpin masa depan,” katanya.

Abdullah juga mengaku bahwa semua yang ia bilang berdasarkan investigasinya sebagai wartawan.

"Saya datang sebagai wartawan. Investigasi. Saya datangi keluarga 6 orang itu. 3 orang ibunya janda. Semuanya orang miskin," katanya.

Berdasarkan investigasinya, Abdullah menemukan fakta bahwa 6 anggota laskar FPI itu tergolong fakir miskin. Salah seorang dari mereka, Muhammad Reza, bahkan hanya berpenghasilan Rp200 ribu per bulan.

"Reza itu hansip. Rp100 ribu per bulan. Jaga parkir tempat ibadah orang India bersama 3 temannya. Jadi Reza satu bulan Rp200 ribu," ujar Abdullah.

Abdullah, yang mengaku telah mengunjungi satu per satu keluarga 6 anggota laskar FPI tersebut, menyebut bahwa kondisi rumah Reza bahkan sungguh memprihatinkan.

"Rumahnya itu pantas disebut kandang burung. Betul-betul kandang burung. Saudara-saudaranya, perempuan tiga orang sama ibunya, kalau tidur seperti ikan sarden disusun. Tidak punya dapur. WC kongsi," katanya.

Dengan kondisi ekonomi demikian, kata Abdullah, tidak mungkin Reza sanggup membeli senjata api.

“Bagaimana menurut logika, orang seperti ini bisa beli pistol?” ujarnya.

Kondisi anggota laskar FPI lain, Andi Oktavian, Muhammad Sofyan, dan lainnya, juga sama saja, menurut Abdullah.

Artikel Menarik Lainnya:


 

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber:

BERITA TERBARU

Abdullah Hehamahua: Polisi Tanpa Sadar Melanggar HAM Berat saat Tembak Mati 6 Laskar FPI

Link berhasil disalin!