Kategori Berita
Media Network
Sabtu, 12 DESEMBER 2020 • 10:32 WIB

GIMNI: Kenaikan Harga Sawit Ibarat Narkoba yang Bisa Jadi Bumerang

Pekerja memasukkan Tanda Buah Segar (TBS) kelapa sawit ke dalam truk. (Antara/Syifa Yulinnas)

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menyatakan, pemerintah Indonesia sebaiknya jangan terlalu senang dengan kenaikan harga minyak sawit mentah alias Crude Palm Oil (CPO) yang meroket dalam 8,5 tahun terakhir.

"Soal kenaikan harga minyak sawit mentah (CPO) kali ini bukan yang tertinggi. Dulu bahkan sempat menyentuh angka 1.200 dolar AS. Saat ini kenaikan harga dipengaruhi adanya supply dan demand saja, jadi karena permintaan meningkat, pasokan berkurang ya harganya naik," kata Sahat saat dihubungi Indozone, Sabtu (12/12/2020).

Saat ini, di pasar Eropa sedang kekurangan panen soyabeen dan sunflower karena terdampak Covid-19. Sedangkan perkebunan sawit di Indonesia sama sekali tidak terdampak Covid-19. Sebab jarak kebun sawit yang satu dengan lainnya berjauhan. 

"Itu keuntungan kita dan kemungkinan sawit itu punya aroma yang menakutkan bagi Covid-19, barang kali. Saya kira ada aroma di Sawit itu yang bikin Covid-19 ketakutan. Sebab ada survei di daerah sawit itu minim kena Covid-19, tentu perlu didalami lagi," urai dia.

Dia menjelaskan, produksi sawit di Indonesia tahun 2020 memang tidak sebaik 2019. Tapi, kata Sahat, itu kemungkinan penyebabnya karena cuaca, bukan karena pandemi corona. 

"Tapi kalau di luar negeri dipengaruhi karena pandemi. Nah, Soal kenaikan harga CPO itu karena supply dan demand saja. Kemudian perekonomian di China sudah mulai membaik, jadi kebutuhan mereka juga meningkat dan kemudian India juga kebutuhannya naik," tutur Sahat. 

Pekerja menurunkan Tanda Buah Segar (TBS) kelapa sawit dari dalam truk pengangkutan di tempat penampungan Desa Leuhan, Kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat, Aceh. (ANTARA/Syifa Yulinnas)

Sahat mewanti-wanti agar pemerintah Indonesia tak terbuai dengan kenaikan harga CPO. Sebab, hal itu ibarat narkoba yang menimbulkan efek halusinasi dan dapat menjadi bumerang buat Indonesia.

"Kalau melihat untuk Indonesia sebagai pemain dunia, harga sawit tinggi itu bumerang, karena dengan harga sawit ini kita lihat tingkat produktivitas kita masih belum begitu tinggi terutama di petani. Ini bisa berakibat para petani berfikir ngapain saya perbaiki replanting? Harga begini saja sudah dapat keuntungan. Nah bumerang, jadi secara global Indonesia harus berpikir jangan senang dulu," papar Sahat 

"Beda kalau pengusaha ya tentu mereka senang karena mereka kan hanya trading saja. Artinya begini, biarkan saja itu berjalan karena kita belum menjadi price leader, karena memang sampai sekarang itu kita punya produksi masih di atas 65 persen ekspor, 35 persen domestik. Jadi kalau ada sedikit gangguan di luar negeri langsung mempengaruhi harga ke dalam negeri," sambungnya.

Sahat menyarankan, jika Indonesia mau jadi price leader, harus berusaha memaksimalisasi pemanfaatan sawit di dalam negeri. Dia berpendapat, kalau bisa 60 persen di dalam negeri, 40 persen ekspor.

"Makanya kalau saya bersyukur Tuhan memberikan minyak bumi Indonesia cepat habis, supaya bangsa kita ini berpikir. Dengan begini para akademisi memikirkan dan yang dihasilkan oleh kawan-kawan kita dari ITB di tahun 2018, dengan Katalis Merah Putih, mereka bisa menghasilkan namanya biohidrokarbon. Ini beda dengan Biodisel," jelas Sahat.

Biohidrokarbon, kata Sahat, bahannya sama persis dengan fosil. Sedangkan Biodisel bukan berupa fosil karena masih ada oksigennya. Dengan demikian impor fosil Indonesia menurun.

"Jadi sebagai negara terbesar penghasil sawit jangan berbangga hati harga sawit tinggi. Kita harus berfikir bagaimana menurunkan harga. Jadi strateginya itu adalah low cost production itu sasaran utamanya," ungkapnya. 

Industri kelapa sawit di Indonesia. (ANTARA/FB Anggoro)

Kalau low cost production, sambung Sahat, program biodisel tetap jalan, biohidrokarbon terus diteliti, harga minyak goreng bisa murah. Tapi petani tetap kaya.

"Itulah kunci utama yang perlu disampaikan kepada Pak Jokowi, supaya beliau melihhat harga sawit tinggi jangan senang dulu karena ini narkoba, hanya halusinasi sesaat yang ada," tegas Sahat.

Area Sawit di Indonesia, tutur Sahat, kurang lebih ada 16,38 juta hektar. Kemudian, 6,9 juta hektar itu dimiliki petani, atau 42 persen dari total lahan yang ada. Namun, tingkat produktivitasnya antara 9 ke 10 ton tandan buah segar (TBS). Artinya masih rendah. 

"Kita harus berusaha mencapai 20 ton. Artinya kita harus membina para petani untuk lebih produktif sehingga harga produksinya rendah, kita bisa merajai dunia. Kalau perusahaan besar mereka sudah punya infrastruktur lengkap mulai dari dana hingga penelitian, sedangkan petani kan tidak," harap dia.  

Sahat menambahkan, saat ini dirinya bersama masyarakat karbon Indonesia sedang mengembangkan teknologi, bagaimana membuat serat sawit menjadi etanol. Kalau itu terjadi, Indonesia tak perlu pusing dengan harga sawit.

"Tapi ini tidak disukai dunia barat, karena harga minyak soyabean dan rapeseed biaya produksi mereka sudah 640 dolar AS per Ton. Jadi kalau kita jual 500 dolar AS kan ada 140 dolar AS selisihnya, maka dunia akan menubruk minyak kita dan tidak lagi menubruk minyak rapeseed dan soya. Itu yang mereka gak suka dan bilang sawit harus dimusnahkan dengan isu-isu soal deforestasi," beber Sahat. 

"Ini yang mereka takutkan, makannya harga sawit tinggi itu narkoba karena daya saing kita ke minyak soya dan rapeseed tidak begitu kuat. Tapi kalau harga minyak rendah, kita bisa ditubruk sama India, Pakistan, kebanjiran minyak dari kita dan pasarnya mereka (Eropa) makin ciut," lanjutnya.

Pekerja mengangkut tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di Muara Sabak Barat, Tajungjabung Timur, Jambi. (ANTARA/Wahdi Septiawan)

Minyak sawit, kata Sahat, sudah menguasai pangsa pasar 32 persen. Dulu yang menguasai soyabean dan rapeseed. Begitu CPO menelikung, mereka mulaliah berteriak soal isu orang utan, deforestasi, dan isu lingkungan sebagai dampak kebun sawit. 

"Mereka ngarang aja. Padahal kita itu hanya 5 persen dari total lahan yang ada di Indonesia. Sedangkan mereka hampir 15 persen dari total lahan mereka. Jadi mereka yang paling banyak deforestasi sebetulnya bukan kita," kata dia.

Sahat menjelaskan, sebagai gambaran produksi sawit Indonesia di tahun 2019 itu 47,18 juta Ton. Nah di tahun 2020, karena El Nina dan lain-lain Indonesia masih di bawah itu, kira-kira 47,08 ton. 

"Tapi di tahun 2021 kita harapkan cuaca menurut ramalan akan lebih baik bisa mendekati atau bahkan di atas apa yang kita capai di tahun 2019. Kami proyeksikan di tahun 2021 akan bisa mencapai 48,5 juta ton kalau cuacanya mendukung," pungkas Sahat.

Artikel Menarik Lainnya:

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber:

BERITA TERBARU

GIMNI: Kenaikan Harga Sawit Ibarat Narkoba yang Bisa Jadi Bumerang

Link berhasil disalin!