Kategori Berita
Media Network
Selasa, 19 MEI 2020 • 19:39 WIB

DPR Tampik Tudingan Pengesahan RUU Minerba untuk Kepentingan Korporat Tertentu

Foto udara tambang batu bara. (ANTARA/Wahdi Septiawan)

Anggota Komisi VII DPR RI, Maman Abdurrahman membantah tudingan bahwa pengesahan Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), adalah dalam rangka memberikan karpet merah kepada tujuh korporasi pemegang Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara (PKP2B) dan mengesampingkan peran perusahaan BUMN dalam pengelolaan pertambangan di Indonesia.

DPR juga menampik tudingan bahwa pengesahan RUU tersebut melanggar konstitusi khususnya Pasal 33 UU 45 ayat 3 karena kontrak pertambangan swasta atau asing diperpanjang. Dalam pasal itu tidak ada kata spesifik yang mengharuskan pengelolaan sumber daya alam harus dilakukan oleh BUMN .

Menurut Maman, seluruh rangkaian proses untuk dapat mengesahkan RUU Minerba tersebut telah terpenuhi seperti kajian akademik, analisis daftar inventaris masalah (DIM), hingga sinkronisasi dengan berbagai regulasi yang ada. 

Sementara itu, terkait dengan waktu pengesahan yang dinilai terburu-buru dan harus di tengah pandemi corona, Maman menegaskan bahwa hal itu tidak benar. Ia menyebut pembahasan RUU Minerba hingga pengesahan sudah dilakuka sejak tahun 2015, sehingga tudingan pembahasan yang hanya dilakukan dalam kurun waktu 3-4 bulan belakangan adalah tidak tepat.

"Kalau disebut pembahasan RUU ini diam-diam itu salah, jadi bukan hanya 3-4 bulan terakhir tapi ini udah dimulai sejak 2015, carry over hanya menghilangkan mekanisme, tapi substansi dan DIM per pasal kita bahas semuanya," ujar Maman dalam webinar yang diselenggarakan dunia energi pada hari ini, Selasa (19/5/2020). 

Ia pun meminta agar pihak-pihak yang bertentangan tidak mengarahkan isu, seolah pembahasan RUU tersebut dilakukan secara tertutup dengan tujuan tertentu. 

"Jangan dipelintir seakan-akan ini diam-diam kita libatkan DPD, akademisi dan multi stakeholder kok," ujar Maman. 

Ditegaskan Maman bahwa pemerintah dan DPR sama sekali tidak memberikan hak istimewa kepada korporasi tertentu. Namun karena ada tujuh perusahaan pemegang kontrak PKP2B, di mana mereka dianggap paling siap dan punya komitmen penuh untuk menjaga suplai batubara untuk ketahanan energi nasional, maka dimungkinkan akan ada perpanjangan kontrak bagi mereka.

Maman menjelaskan, apabila memang ada BUMN yang siap sedia mengcover segala kebutuhan batubara di dalam negeri, maka pemerintah dan DPR tidak segan-segan memberikan hak pengelolaannya kepada BUMN. 

Namun demikian sayangnya, hingga saat ini DPR belum mendengar ada BUMN yang siap mengcover seluruh produksi tambang batubara seperti yang sudah mereka lakukan saat ini. Tercatat dari tujuh perusahaan tambang tersebut jumlah produksinya mencapai 75% dari total produksi nasional.

"Semangat ke BUMN harus diberikan, namun harus situasional dan harus dilihat fakta apakah BUMN mampu kelola 75% itu, jangan sampai ketika dipegang BUMN, nanti produksinya turun sehingga menganggu energi kita dan menganggu penerimaan negara," tuturnya. 

Maman menilai saat ini banyak pihak yang membenturkan antara swasta atau asing dengan perusahaan BUMN. Banyak yang menilai ketika pemerintah memberikan hak kelola sumber daya alam kepada swasta atau asing maka rasa nasionalismenya rendah. 

"Saya analogikan kita punya anak kandung dan anak tiri, kalau diberi anak kandung (sebuah usaha) rugi terus tapi ke anak tiri justru untung, nah mana yang mau dipilih. Jadi nasionalisme tidak dilihat dari situ saja," tuturnya. 

Seperti diketahui, pengesahan RUU Minerba tersebut memungkinkan bagi tujuh PKP2B mendapatkan jatah perpanjangan kontrak pengelolaan wilayah kerja (WK) di Indonesia. 

Ketujuh perusahaan tersebut adalah PT Arutmin Indonesia yang masa kontraknya akan habis pada 1 November 2020. Kemudian PT Kendilo Coal Indonesia yang akan habis masanya pada 13 September 2021, PT Kaltim Prima Coal yang selesai 31 Desember 2021.

Kemudian PT Multi Harapan Utama yang habis kontraknya di 1 Oktober 2022, PT Adaro Indonesia yang kontraknya habis pada 1 Oktober 2022. PT Kideco Jaya Agung yang kontraknya berakhir pada 13 Maret 2023 mendatang dan PT Berau Coal yang akan habis 26 April tahun 2025 mendatang. 

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (Iress), Marwan Batubara justru menilai sebaliknya. Ia merasa bahwa pembahasan RUU Minerba sarat dengan keganjilan. Menurutnya banyak proses yang terlewatkan bahkan menabrak konstitusi. 

Menurut Marwan, DPR dan pemerintah tidak lagi mendukung BUMN untuk tumbuh kembang karena kontrak-kontrak tambang justru diberikan ke swasta atau asing. Menurutnya, DPR dan pemerintah harusnya mengutamakan BUMN terlebih dahulu dan tidak mudah mengobral kontrak pada swasta atau asing.

"Saya kira kalau mau cepat pemerintah gampang bikin aja BUMN baru atau serahkan ke PTBA (PT Bukit Asam Tbk), tapi harus ada hitung-hitungan rinci dengan porsi saham yang dimiliki publik. Ini lebih konstitusional," paparnya.

Dia menyetujui bahwa UU Minerba yang lama sudah sepatutnya direvisi karena sudah tidak kontekstual. Namun dalam proses merevisi harusnya mengikuti prosedur yang berlaku dan tidak menabrak aturan. Marwan menilai dalam pengesahan RUU Minerba belum lama ini, sarat dengan keganjilan dan terkesan ditutup-tutupi oleh DPR dalam pembahasannya.

"Dalam tiga bulan di tengah banyak isu tapi DPR bisa selesai dalam rapat tertutup, sampai-sampai DPD tidak dilibatkan. Jadi sangat nyata pelanggaran terhadap konsitusi, adanya surat ke DPD setelah ada protes dari masyarakat," pungkasnya.

 

Artikel Menarik Lainnya:

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber:

BERITA TERBARU

DPR Tampik Tudingan Pengesahan RUU Minerba untuk Kepentingan Korporat Tertentu

Link berhasil disalin!