Ilustrasi minyak mentah (REUTERS)
Setelah harga minyak berjangka America (WTI) anjlok hingga ke level minus untuk pertama kali dalam sejarah kemarin, hari ini giliran minyak berjangka Brent yang terkoreksi. Hal tersebut menyusul lonjakan pasokan yang begitu dahsyat, serta dibarengi adanya kepanikan pasar yang luar biasa.
Senin dan Selasa adalah dua hari yang paling bergejolak dalam sejarah perdagangan minyak, karena investor menghadapi kenyataan bahwa pasokan di seluruh dunia akan membanjiri permintaan selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun, dan pemotongan produksi saat ini untuk mengimbangi kelebihan produksi, tampaknya sangat jauh dari cukup.
Setelah perdagangan Senin, ketika WTI untuk kontrak pengiriman Mei jatuh ke wilayah negatif untuk pertama kalinya dalam sejarah, Selasa menetapkan tonggak baru karena lebih dari 2 juta kontrak bagi minyak mentah AS untuk pengiriman Juni berpindah tangan, hari tersibuk dalam sejarah, menurut operator exchange CME Group.
Minyak mentah berjangka Brent untuk kontrak pengiriman Juni, patokan internasional, ditutup merosot 24% menjadi USD19,33 per barel, yang merupakan level terendah sejak Februari 2002, demikian laporan Reuters, di New York, Selasa (21/4/2020) atau Rabu (22/4/2020) pagi WIB.
Sementara itu, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak pengiriman Juni, menyusut USD8,86, atau 43%, menjadi USD11,57 per barel. Sementara itu kontrak WTI untuk pengiriman Mei, yang berakhir Selasa, pulih kembali dari kejatuhan yang dalam ke wilayah negatif, naik menjadi USD10,01 dari settlement hari sebelumnya di minus USD37,63.
Persediaan minyak melesat selama berminggu-minggu setelah Arab Saudi dan Rusia, awal Maret lalu, gagal mencapai kesepakatan tentang perpanjangan pemotongan produksi karena pandemi virus corona semakin memburuk. Sejak saat itu, penyebaran pandemi tersebut menekan permintaan bahan bakar sekitar 30% di seluruh dunia.
Organisasi Negara Eksportir Minyak dan sekutunya, termasuk Rusia, akhirnya mengumumkan pengurangan produksi pada awal April, yang berjumlah hampir 10% dari pasokan global. Tetapi dengan kondisi ekonomi yang hampir macet karena penguncian virus corona, itu tidak cukup untuk mengimbangi kejatuhan permintaan.
Sementara itu pada Selasa kemarin, Arab Saudi dan Rusia mengatakan mereka siap untuk mengambil langkah-langkah tambahan guna menstabilkan pasar minyak bersama dengan produsen lain, tetapi mereka belum mengambil tindakan.
"Matematikanya cukup sederhana. Produksi minyak saat ini sekitar 90 juta barel per hari, tetapi permintaan hanya 75 juta barel per hari," kata Gregory Leo, Kepala Investasi IDB Bank.
Sementara itu, di Texas, regulator minyak dan gas menolak untuk memaksa produsen mengurangi produksinya. Texas Railroad Commission, yang mengatur perusahaan energi di negara bagian itu, mempertimbangkan untuk melakukan intervensi di pasar untuk pertama kalinya dalam hampir 50 tahun.
"Texas mengambil keputusan mereka dan dengan OPEC tidak menunjukkan urgensi, itu berarti dunia akan kehabisan ruang untuk menyimpan minyak pada pekan kedua Mei," kata Edward Moya, analis OANDA di New York.
Pusat penyimpanan utama Amerika di Cushing, Oklahoma, titik pengiriman untuk WTI, diperkirakan penuh dalam beberapa minggu. Data resmi pemerintah AS menunjukkan penyimpanan di Cushing hanya terisi 70% pada pertengahan April.
Presiden Donald Trump sendiri meminta pemerintah untuk menyediakan dana bagi industri minyak dan gas AS, menyebut kejatuhan pada sesi Senin sebagai "tekanan finansial" dan menghentikan impor dari Saudi.
Persediaan minyak mentah AS naik 13,2 juta barel dalam sepekan hingga 17 April menjadi 500 juta barel, menurut data dari kelompok industri American Petroleum Institute, Selasa. Analis memperkirakan kenaikan 13,1 juta barel. Data resmi pemerintah akan dirilis Rabu waktu setempat.
Sementara itu dari dalam negeri, Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu mulai berkomentar terkait terjadinya kejatuhan harga minyak WTI kontrak Mei yang berada pada level negatif (sempat USD -37 per barel).
Kepala BKF Askolani mengatakan, para produsen minyak harus segera menyerahkan stok kepada konsumen karena faktor penyimpanan yang terbatas. Namun, hal ini diperkirakan berdampak secara jangka pendek, mengingat harga jual WTI kontrak pada Juni masih berkisar pada USD20/barel.
Sementara garga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) saat ini sedikit di atas harga minyak Brent. Perubahan ICP sendiri disebut akan berdampak terhadap APBN, mengingat baseline asumsi harga ICP dalam Perpres 54/2020 ialah USD38/barel untuk harga rata-rata sepanjang tahun 2020.
"Jika harga terus mengalami penurunan sehinga ICP menjadi USD30,9/barrel (rata-rata setahun), maka defisit diperkirakan bertambah Rp12,2 triliun," ujar Askolani dalam vicon bersama wartawan kemarin.
Pemerintah, kata Askolani, terus melakukan pemantauan untuk melakukan kebijakan antisipatif, termasuk pengendalian defisit, salah satunya melalui evaluasi atas belanja non-produktif, dan mengambil langkah-langkah mitigasi untuk menjaga kesinambungan fiskal dan pertumbuhan ekonomi.
Setelah Tertular Covid-19, Idris Elba Merasa Kehidupannya Berubah
Mike Tyson Mengaku Selalu Demam Panggung Sebelum Naik Ring
WHO Sebut Covid-19 Murni dari Hewan, Tak Ada Manipulasi Laboratorium
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: