Kasus Korupsi Tanah Kas Desa Maguwoharjo di Sleman, Polda DIY Ringkus 3 Pelaku: Begini Modusnya
INDOZONE.ID - Polda DIY mengungkapkan adanya dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi di wilayah Desa Maguwoharjo, Sleman, DIY. Tindak pidana ini berlangsung antara tahun 2020 hingga 2023, di Pedukuhan Pugeran, Kelurahan Maguwoharjo, Kabupaten Sleman.
Dirreskrimsus Polda DIY Kombes Pol Wirdhanto Hadicaksono, mengungkapkan, dari hasil penyelidikan terungkap, sejumlah pelaku melakukan penyewaan tanah desa tanpa izin dari Gubernur DIY.
Menurutnya, ini diduga mengarah pada pelanggaran hukum serius.
"Dari hasil penyelidikan kami, diketahui bahwa total luas tanah yang disewakan mencapai lebih dari 2,5 hektare. Tanah tersebut terdiri dari tanah desa dan tanah pelunggu di Kelurahan Maguwoharjo. Hal ini jelas melanggar aturan terkait pengelolaan tanah kas desa," ujar Wirdhanto dalam konferensi pers, Selasa (27/5/2025).
Sehingga dalam hal ini, Polda DIY telah menetapkan tiga tersangka baru. Sebelumnya, Lurah Maguwoharjo dengan inisial K sudah lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka.
Ketiga tersangka ini yakni S (59), E-S (55) merupakan Jogoboyo, laki-laki, N (50) merupakan Danarta.
"Beberapa waktu lalu, K telah divonis oleh pengadilan dengan hukuman penjara selama 2 tahun. Kemudian, kami menetapkan para tersangka baru ini yakni Dukuh Jogoboyo dan Dananta dari Kelurahan Maguwoharjo, yang masing-masing berinisial SES dan N," ungkapnya.
Ketiga tersangka itu diduga bersama-sama dengan Lurah K, menyewakan tanah desa tanpa izin. Sehingga digunakan oleh pihak swasta untuk pembangunan lokasi olahraga dan pariwisata.
Tersangka K selaku Lurah menyewakan Tanah Kas Kalurahan seluas 2.500 m² di Persil 198 kepada pihak KWW selama 20 tahun, dengan nilai sewa Rp12.500.000,- per tahun.
"K juga mengetahui serta menyetujui penyewaan ilegal lain yang dilakukan oleh tersangka lainnya," imbuh Wirdhanto.
Mengenai proses penyewaan tanah, diketahui bahwa kontrak sewa bervariasi. Sebagai contoh, kontrak sewa yang dilakukan oleh tersangka K dan E-S, untuk beberapa lahan tanah desa berlangsung hingga 20 tahun yakni dari tahun 2022 hingga 2042.
"Tersangka S selaku Dukuh Pugeran menyewakan tanah pelungguh seluas 6.582 meter persegu di lokasi yang sama selama 20 tahun dengan nilai sewa Rp32.910 juta per tahun," kata Wirdhanto.
"Sementara tersangka E-S menyewakan beberapa bidang tanah kas dan pelungguh tanpa izin dengan harga sewa bervariasi antara Rp2.500 juta hingga Rp 8 juta per tahun. Penyewaan dilakukan atas beberapa persil, antara lain Persil 64b, 63, 163, 190, dan 200," sambungnya.
Tersangka N menyewakan tanah pelungguh di Persil Seb 185 seluas 6.000 m² sebanyak dua kali, yakni untuk jangka waktu 5 tahun Rp50 juta dan 1 tahun Rp20 juta.
"Akibat perbuatan ini, negara alami kerugian ini negara mencapai Rp 805.600 juta. Hingga saat ini, barang bukti yang berhasil disita total mencapai Rp 272,5 juta," ujarnya.
Ketiga tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 3 dan atau Pasal 11 dari Undang-Undang, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman pidana maksimal 20 tahun penjara dan denda hingga Rp 1 miliar.
"Saat ini, berkas perkara ketiga tersangka telah dinyatakan lengkap dan sedang dalam proses pelimpahan ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) DIY untuk tahap selanjutnya," pungkasnya.
Hadir dalam konferensi pers itu, Sekretaris Dinas Pertanahan dan Tata Ruang DIY, Wahyu Budi Nugroho, menjelaskan tentang aturan yang mengatur pemanfaatan tanah kelurahan.
"Setiap pemanfaatan tanah kalurahan ini juga harus ada izin. Ini sudah diatur dalam Pergub Nomor 24 Tahun 2024. Peraturan ini mengatur siapa saja yang ingin memanfaatkan tanah, baik individu maupun lembaga, harus memperoleh izin terlebih dahulu," ujar Wahyu.
Lebih lanjut, Wahyu menjelaskan, tanah kalurahan pada awalnya merupakan tanah Kasultanan, yang berarti penggunaannya harus sesuai dengan ketentuan dan memperoleh izin dari pihak berwenang.
"Tanah kasultanan ini digunakan untuk kesejahteraan masyarakat. Maka itu, aturan dan regulasi mengenai pemanfaatan tanah ini harus diterapkan dengan baik," tegas Wahyu.
Dalam hal ini, peraturan yang berlaku juga membedakan jenis penggunaan tanah, seperti tanah pertanian yang diperbolehkan untuk digunakan tanpa izin. Sementara penggunaan untuk permukiman dan lainnya, tetap memerlukan izin.
"Untuk tanah pertanian ya sudah tidak masalah, tapi untuk permukiman dan lain-lain yang tidak sesuai peruntukan, itu jelas dilarang," jelasnya.
Dengan adanya kasus ini, Polda DIY dan Dispertaru kembali menekankan pentingnya kepatuhan terhadap regulasi yang ada untuk menjaga agar penggunaan tanah desa tetap dapat dipertanggungjawabkan, dan digunakan demi kesejahteraan masyarakat setempat.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Liputan Langsung