INDOZONE.ID - Polemik di Yayasan Rumah Sakit Islam (RSI) NTB terus menjadi sorotan publik. Pengamat Kebijakan Publik UIN Mataram, Prof. Dr. Winengan, menyampaikan pandangannya terkait tata kelola yayasan ini.
Ia menekankan bahwa ketidakjelasan peran dan fungsi di dalam yayasan dapat memicu konflik dan penolakan dari masyarakat.
"Kalau pengelolaan institusi ya berbasis yayasan itu, jadi harus dipilah perannya. Yayasan itu tugasnya, saya bilang itu tadi, membuat regulasi dan mengontrolnya. Manajemennya itu melaksanakan dari regulasi yang sudah dibuat yayasan," ujar Winengan saat dimintai tanggapan soal konflik internal Yayasan RSI NTB, Rabu (21/5/2025).
Lebih lanjut, Winengan menambahkan bahwa dalam penyusunan kebijakan, partisipasi dari berbagai pihak yang berkepentingan sangat krusial dan tidak bisa diabaikan.
Baca Juga: HUT Humas Polri ke-73, Bidhumas Polda DIY Gelar Bakti Sosial di Yayasan Sayap Ibu
Ia menekankan bahwa melibatkan stakeholder sangat penting agar yayasan tidak berjalan sepihak dan lebih inklusif dalam pengambilan keputusan.
"Cuma dalam proses penyusunan, regulasi atau kebutuhan itu memang harus mengibatkan partisipasi dari pihak yang punya kepentingan dan kegunaan yayasan maupun institusi yang dibentuk oleh yayasan," jelasnya.
Selain itu juga Winengan menyoroti kurangnya transparansi dalam pengambilan keputusan di sejumlah yayasan, termasuk dalam kasus RSI NTB. Ia memberikan analogi sistem ketatanegaraan guna menjelaskan pentingnya pemisahan fungsi.
"Nanti intinya keterbukaan itu yang mana? Keterbukaan itu. Kalau nanti yang merencanakan, dia yang melaksanakan, dia yang mengawasi kan gak bisa. Ini kan contoh kecil ya. Kita mungkin bisa merujuk kepada sistem politik kan. Misalnya ada sebagai eksekutifnya, ada sebagai legislatifnya, ada judikatifnya. Kan begitu kan. Baru bisa ya hatinya berjalan dengan baik mengelolaan sebuah institusi. Negara ini kan sebuah institusi besar, kira-kira begitu. Tapi bisa kita ilustrasikan seperti itulah institusi yang dibentuk oleh yayasan itu," jelasnya.
Aksi Protes yang Wajah
Menurutnya, aksi protes yang muncul dari masyarakat NTB terhadap pengelolaan yayasan merupakan respons yang wajar jika memang tidak ada komunikasi dan pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.
Sayang sekali jika keputusan diambil secara mendadak tanpa sosialisasi kepada pihak-pihak yang terdampak, karena hal ini berpotensi memicu resistensi dan penolakan.
"Tapi kalau ketentuannya sudah ada, masyarakat dilibatkan dalam membuat ketentuan itu, kan bisa menghilangkan atau tidak menghindari terjadinya proses-proses itu," paparnya.
Setiap kebijakan yang berdampak langsung pada pegawai harus disosialisasikan secara transparan dan terbuka untuk menghindari kesalahpahaman dan penolakan.
"Ya seandainya misalnya melakukan sesuatu itu kan perlu, tadi saya bilang jangan tiba-tiba. Selalu ada sosialisasi, argumentasi, apa gitu. Kadang-kadang bukan karena orangnya, bukan karena dia tidak mau, tapi karena enggak pernah disampaikan, enggak pernah disosialisasikan lebih dahulu," jelasnya.
Ia mencontohkan, protes kerap kali muncul lantaran kebijakan yang dibuat tanpa proses komunikasi yang baik.
Sebagai contoh, ia menyamakan dengan kasus penggusuran yang sering kali memicu konflik dan keresahan di masyarakat karena kurangnya komunikasi dan pelibatan pihak terkait.
"Masyarakat misalnya paham bahwa itu enggak boleh. Misalnya kayak kasus pengusuran gitu. Masyarakat paham bahwa itu salah gitu kan. Cuman kenapa enggak dari sebelumnya gitu kan disampaikan bahwa akan melakukan ini loh pemerintah gitu kan. Kok tiba-tiba, Kan ada kesiapan masyarakat untuk mungkin ada inisiatif lain untuk menghadapi apa yang akan dilakukan oleh pemerintah tadi terkait dengan dampak-dampaknya," katanya.
Prof. Winengan mengakhiri pernyataannya dengan menegaskan bahwa komunikasi efektif merupakan fondasi penting dalam implementasi kebijakan, baik di pemerintahan maupun lembaga lainnya.
"Ya Timbul protes. Makanya di dalam mekanisme pelaksanaan kebijakan itu pentingnya tadi ya, ada pihak atau mungkin tadi pelaku kebijakan itu perlu ada komunikasi."
Latar Belakang Kasus
Polemik internal Yayasan Rumah Sakit Islam (RSI) NTB kembali memanas dan menjadi perhatian publik.
Konflik ini diduga dipicu oleh dugaan penyalahgunaan wewenang oleh Ketua Yayasan dan sejumlah kebijakan kontroversial yang dinilai tidak transparan serta tidak sesuai dengan prinsip tata kelola yang baik.
Masyarakat NTB yang bergabung dalam Aliansi Masyarakat NTB Peduli menggelar demonstrasi pada 19 Mei 2025, menuntut sejumlah langkah konkret, termasuk penonaktifan Ketua Yayasan RSI NTB, audit independen, serta evaluasi menyeluruh terhadap pengelolaan anggaran dan kebijakan yayasan.
Mereka juga mendesak pencopotan Rektor Institut Kesehatan Mataram karena dinilai tidak sesuai dengan nilai-nilai inti pendidikan di yayasan tersebut.
Sengketa hukum antara Yayasan RSI NTB dan kontraktor Soenarijo terkait proyek renovasi gedung SDIT Yarsi Mataram senilai Rp11,2 miliar mencapai babak akhir setelah Mahkamah Agung menolak peninjauan kembali dari yayasan.
Baca Juga: 8 Saksi Dipanggil Bareskrim Terkait TPPU Panji Gumilang, Salah Satunya Ketua Yayasan
Proyek ini dimulai dengan penandatanganan kontrak pada 11 Juni 2020, namun pekerjaan dihentikan sepihak oleh yayasan pada 29 Juni 2021 tanpa alasan force majeure, dan yayasan menunjuk kontraktor lain untuk menyelesaikannya.
Soenarijo mengklaim telah menyelesaikan pekerjaan senilai Rp7,99 miliar dan telah menerima pembayaran sekitar Rp5,2 miliar, sehingga tersisa utang sebesar Rp2,78 miliar yang belum dibayar.
Putusan Pengadilan Negeri Mataram yang mewajibkan yayasan membayar sisa utang telah berkekuatan hukum tetap setelah penolakan MA.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Press Release