INDOZONE.ID - Amerika Serikat (AS) merasa keberatan soal penggunaan sistem pembayaran digital Indonesia, khususnya QRIS. Tapi Bank Indonesia menanggapi dengan santai.
Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti, menegaskan bahwa Indonesia terbuka untuk kerja sama dengan negara mana pun, termasuk AS, selama kedua pihak sama-sama siap.
“Kalau Amerika siap, kita (Indonesia) siap, kenapa tidak (untuk kerja sama)?” ujar Destry dilansir dari Antara, Senin (21/4/2025).
QRIS atau Quick Response Code Indonesian Standard menjadi salah satu sorotan dalam laporan Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR).
Baca Juga: QRIS dan E-Money Bebas PPN 12 Persen, Ini Penjelasannya
Mereka menilai proses penyusunan kebijakan sistem QR di Indonesia kurang melibatkan pemangku kepentingan internasional.
“Perusahaan-perusahaan AS, termasuk penyedia pembayaran dan bank, mencatat kekhawatiran bahwa para pemangku kepentingan internasional tidak diberi tahu tentang sifat perubahan potensial atau diberi kesempatan untuk menjelaskan pandangan mereka,” tulis USTR dalam dokumen resminya.
Tapi menurut Destry, sejauh ini Indonesia tidak pernah mempersulit masuknya perusahaan pembayaran asing.
Baca Juga: QRIS dan E-Money Bebas PPN 12 Persen, Airlangga Hartarto Tegaskan Fakta Penting!
Ia bahkan menyebut layanan dari perusahaan AS seperti Visa dan Mastercard masih mendominasi transaksi kartu kredit di dalam negeri.
“Sampai sekarang kartu kredit yang selalu direbutin Visa dan Mastercard kan masih juga dominan. Jadi itu tidak ada masalah sebenarnya,” jelasnya.
Selain QRIS, USTR juga menyoroti beberapa aturan lain yang dianggap menjadi hambatan perdagangan.
Salah satunya adalah implementasi Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) lewat Peraturan BI No. 19/08/2017.
Menurut USTR, aturan GPN membatasi kepemilikan asing maksimal 20 persen untuk perusahaan yang ingin mendapatkan izin switching.
Hal ini dinilai membatasi layanan pembayaran lintas batas untuk transaksi domestik.
AS juga mengkritisi kewajiban perusahaan asing untuk menjalin kemitraan dengan penyedia switching GPN lokal, sesuai Peraturan BI No. 19/10/PADG/2017.
Kerja sama ini harus disetujui BI dan didasarkan pada kontribusi perusahaan asing terhadap pengembangan industri lokal, termasuk transfer teknologi.
Di sisi lain, Pemerintah Indonesia dan USTR sepakat untuk segera mempercepat negosiasi terkait tarif perdagangan.
Dalam pertemuan tingkat menteri di Washington DC, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan USTR Ambassador Jamieson Greer menyepakati pembahasan teknis akan dimulai dalam 60 hari ke depan.
"Di tingkat teknis langsung bergerak cepat melaksanakan pertemuan teknis antara Tim Teknis RI dengan Tim dari pihak USTR," kata Airlangga.
Isu-isu utama yang akan dibahas antara lain hambatan non-tarif, perdagangan digital, akses pasar, hingga tarif sektoral.
Pemerintah Indonesia menargetkan pembahasan bisa selesai dalam dua bulan agar kesepakatan bisa segera diimplementasikan.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Antara