Massa 'Aliansi Jogja Memanggil' Turun ke Jalan Tolak PPN 12 Persen: Kalau Enggak Mau Bantu Jangan Menyusahkan!
INDOZONE.ID - Massa 'Aliansi Jogja Memanggil' kembali turun ke jalan. Kali ini, mereka menolak kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, yang akan diberlakukan pada 1 Januari 2025 nanti.
Seruan aksi pertama dilakukan dengan mengepung kantor Kepresidenan di Yogyakarta, dan kedua mengepung di kantor pajak Selasa (31/12/2024).
Berdasarkan pantauan, massa semula berkumpul di Tempat Khusus Parkir (TKP) Abu Bakar Ali di Suryatmajan, Danurejan, Kota Yogyakarta, pukul 12.00 WIB.
Kemudian selang beberapa waktu, massa berbondong-bondong berjalan kaki menuju Kantor Kepresidenan yang berada di kawasan Malioboro tersebut.
"Batalkan Kenaikan PPN 12 persen, Laksanakan PPN 5 persen," ucap salah satu massa aksi 'Aliansi Jogja Memanggil', yang didominasi mahasiswa itu.
Penolakan terhadap kenaikan PPN 12 persen kini, diserukan banyak elemen masyarakat yang didominasi para mahasiswa Yogyakarta.
Juru bicara 'Aliansi Jogja Memanggil', Surastri mengatakan, kenaikan PPN 5 persen sangat memungkinkan. Hal ini menurutnya dalam UU Nomor 7 Tahun 2021, Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) Pasal 7 Ayat 3 Bab IV.
Menurutnya, Peraturan ini dapat diterapkan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu), jika Presiden Prabowo Subianto lebih memihak pada rakyat menengah ke bawah.
"Kajian ekonominya menyusul, yang penting berpihak dulu, karena sekarang penentunya ada di Presiden, beliau mendukung siapa, ditentukan ketegasannya sebelum 1 Januari 2025," ucapnya disela-sela aksi.
Selain desakan penurunan PPN 12 persen, aksi tersebut juga dibarengi tawaran untuk memajaki orang-orang kaya (tax the rich) sebagai bentuk pemasukan lain, di tengah ruang fisikal yang menyempit serta kelesuan ekonomi yany sedang dialami masyarakat saat ini. '
Ditambah, menurut data BPS, daya beli masyarakat kini menurun sejak Mei hingga September 2024. Serta terjadi PHK besar-besaran, akibatnya angka pengangguran kini ikut meningkat.
"Kenyataan ini seharusnya menjadi landasan bagi pemerintah untuk menurunkan PPN bukan sebaliknya. Lebih baik fokus memulihkan ekonomi terutama menengah ke bawah dan membuka sebanyak-banyaknya lapangan kerja layak," katanya.
"Kalau enggak bisa membantu, seenggaknya jangan menambah sulit dan makin menindas," lanjutnya.
Jeritan Mahasiswa di Yogya Jika PPN 12 Persen direalisasikan
Dalam kesempatan yang sama, salah satu mahasiswa Fakultas Hukum UGM, Niazi, turut mengaku keberatan jika PPN 12 persen benar-benar direalisikan. Menurutnya, ini akan menambah kesusahan bagi mahasiswa.
"PPN ini bukan hanya tentang kenaikan barang, tapi kenaikan juga berbagai macam harga-harga yang dimasyarakat, seperti bahkan mahasiswa. Misal saja mau kita di kafe ataupun beli jajanan UMKM itu akan terkena PPN dari 12 persen," katanya.
"Oleh karena itu bagi mahasiswa yang bisa dibilang kesusahan, itu akan menambah kesusahan bagi mahasiswa itu. Apalagi bagi mahasiswa yang dibilang belum punya penghasilan. Artinya, kenaikan PPN ini bisa dibilang semakin menyusahkan ruang gerak bagi mahasiswa," tambahnya dengan nada kesal.
Lebih lanjut, ia juga menyebut, jika PPN 12 persen itu juga berdampak buruk terhadap dunia pendidikan.
"Kalau bagi dunia pendidikan, begini ya, kenaikan PPNI 12% ini kan demi menyokong kebijakan-kebijakan Prabowo Subianto, yang bisa dibilang tentang makan siang gratis dan berbagai macam segalanya. Orang tua dari anak-anak mereka diperas dengan PPN dan PPH, tetapi anak-anaknya dikasih dengan makan siang gratis. Bukankah itu menyebabkan kesengsaraan yang terjadi?," ucapnya.
"Ditambah biaya hidup mahasiswa itu bisa dibilang sebulan bahkan ya mungkin sekitar UMR Jogja, sekitar 2 juta. Itu sudah termasuk kos segala macam. Tapi itu belum termasuk biaya pendidikannya," sambungnya.
Ia juga khawatir dengan UMR di Indonesia, yang sampai sekarang tergolong sangat kecil, masyarakat makin tertekan dengan berbagai potongan oleh Pemerintah.
"UMR di setiap daerah masih rendah, bahkan gaji-gaji bagi setiap buruh dan bagi pekerja lepas itu masih rendah. Oleh karena itu, kami merasa bahwa dengan PPN yang tinggi ini, belum lagi diperas dengan PPH, belum lagi diperas dengan TAPERA dan berbagai macam pajak-pajak yang dilakukan oleh pemerintah itu sendiri. Itu tidak akan memberikan kebaikan untuk semuanya, malah memberikan kesengsaraan," jelasnya.
BACA JUGA Tegas! MPBI DIY Kembali Desak Pemerintah Batalkan Kenaikan PPN 12 Persen dan Minta Naikkan Upah
PPN sudah sejak tahun 1945 itu tetap 10 persen. Tetapi, berubah pada periode kedua Jokowi dan periode pertama ini Prabowo.
Tentunya, dirinya yang mengaku berasal dari kalangan menengah ke bawah, mengecam Pemerintah untuk membatalkan kenaikan PPN 12 persen tersebut.
"Saya dari keluarga menengah ke bawah. Orang tua hanya sebagai guru yang mana gaji mereka kecil. Mereka bahkan tidak mampu untuk menghidupi keluarganya dalam satu bulan. Mereka harus mencari pekerjaan-pekerjaan yang lain untuk menentupi. Tetapi disetiap sendi kehidupan mereka, Pemerintah malah hadir hanya untuk meminta pajak dari setiap keluarga-keluarga," ucapnya.
Sebagaimana diketahui, Presiden Prabowo menerapkan kenaikan PPN 12 persen berdasar UU HPP yang telah diketok DPR pada era Presiden Joko Widodo. Pajak berlaku untuk barang dan jasa meski pemerintah selalu berdalih hanya untuk komoditas premium.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Liputan Langsung