Selasa, 12 NOVEMBER 2024 • 12:33 WIB

Ibu di Gaza: Kematian Mungkin Satu-satunya Jalan untuk Mengakhiri Derita Ini

Author

Itimad Al-Qanou, seorang ibu Palestina yang mengungsi dari Jabalia, makan bersama anak-anaknya di dalam tenda, di tengah konflik Israel-Gaza, di Deir Al-Balah, Jalur Gaza tengah, pada 9 November 2024.

INDOZONE.ID - Di dalam sebuah tenda di Deir Al-Balah, Gaza Tengah, Itimad al-Qanou, seorang ibu asal Jabalia, menghadapi perjuangan berat untuk memberikan makan bagi ketujuh anaknya.

Setelah berbulan-bulan hidup di tengah konflik, ia merasa ditinggalkan, seolah-olah dunia menutup mata atas penderitaannya.

Kadang-kadang, Itimad merasa bahwa hanya kematian yang dapat mengakhiri penderitaan keluarganya yang semakin lama semakin sulit. Gaza kini adalah puing-puing yang porak-poranda, penuh dengan orang-orang yang kelaparan.

Baca Juga: 5 Fakta Qatar Tunda Mediasi di Gaza, Tanda Kebuntuan Konflik?

"Lebih baik ledakan besar saja mengakhiri semuanya. Kami sudah muak hidup seperti ini, sekarat sedikit demi sedikit. Kasihanilah kami, lihatlah anak-anak ini," ucapnya, sambil memandangi ketiga putranya dan empat putrinya yang masih berusia delapan hingga delapan belas tahun.

Di sekitar tempat tinggalnya, anak-anak lainnya berkumpul di lokasi pembagian bantuan, membawa wadah kosong dengan harapan mendapatkan semangkuk sup lentil.

Namun, bantuan makanan ini tidak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan banyak orang yang dilanda kelaparan.

Baca Juga: Serangan Berlanjut, WHO Kecam Situasi Kesehatan di Gaza Utara yang Kritis

Keluarga Qanou berada di antara ancaman serangan udara yang menghancurkan Gaza dan kondisi kekurangan makanan yang kian parah.

"Tak ada yang memperhatikan kami, tak ada yang peduli. Saya mohon negara-negara Arab berdiri bersama kami, setidaknya bukalah perbatasan supaya bantuan pangan bisa sampai ke anak-anak kami," harapnya.

Dia juga mengkritik negara-negara yang menurutnya berpihak pada konflik yang terjadi.

Senin lalu, truk-truk bantuan kemanusiaan diizinkan memasuki Gaza utara melalui perbatasan Erez. Pekan ini, Amerika Serikat akan mengevaluasi apakah ada perbaikan situasi kemanusiaan di Gaza.

Para ahli keamanan pangan memperingatkan bahwa kelaparan ekstrem kemungkinan besar akan terjadi di bagian utara Gaza, karena operasi militer Israel terhadap Hamas terus berlanjut.

Menanggapi peringatan ini, kepala Badan Bantuan PBB untuk Palestina (UNRWA), Philippe Lazzarini, menuduh Israel menggunakan kelaparan sebagai alat kekerasan.

COGAT, agensi militer Israel yang mengelola urusan sipil di Palestina, merilis laporan upaya kemanusiaan mereka untuk membantu warga Gaza, terutama menjelang musim dingin.

Di sisi lain, Duta Besar Israel untuk PBB, Danny Danon, menyatakan di Dewan Keamanan PBB bahwa lebih dari satu juta ton bantuan telah dikirim sepanjang tahun ini. Namun, ia menuduh Hamas menyalahgunakan bantuan ini, tuduhan yang kemudian dibantah oleh pihak Hamas.

Tak hanya kelaparan, warga Gaza juga kehilangan tempat yang aman setelah beberapa kali terpaksa mengungsi dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Mereka kini tinggal di tenda-tenda sementara dan sering harus pindah lagi demi menghindari serangan.

Beberapa warga Gaza bahkan menyebut penderitaan saat ini lebih parah daripada tragedi "Nakba" pada tahun 1948, ketika ratusan ribu warga Palestina kehilangan rumah mereka.

"Keadaan sekarang lebih buruk. Kami tak punya keamanan, tak ada tempat yang aman," kata Mohamed Abou Qaraa, seorang pengungsi Gaza yang kini harus hidup berpindah-pindah.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber: Channelnewsasia.com