Fatia dan Haris Azhar di Mapolda Metro Jaya. (INDOZONE/Samsudhuha Wildansyah)
Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra turut memberikan komentar terkait penetapan tersangka terhadap dua aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti terkait kasus dugaan pencemaran nama baik kepada Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan.
Menurut Herzaky, Indonesia adalah negara demokrast sehingga jika ada perbedaan pendapat merupakan hal yang wajar serta dihadapi dengan adu argumentasi. Hasil pemaparan fakta hasil riset yang disampaikan Haris-Fatia seharusnya dibalas oleh Luhut dengan cara yang sama bukan dengan pelaporan polisi.
“Apalagi jika penyuara fakta malah diadukan ke polisi dan diancam dengan bui, sama saja ingin mengkerangkeng demokrasi, dan menutup jalan untuk pemaparan kebenaran,” kata Herzaky kepada wartawan, Kamis (24/3/2022).
Herzaky menuturkan bilamana pesan yang tertangkap oleh publik, pejabat publik cenderung menggunakan ancaman, intimidasi, dan manajemen ketakutan tatkala menghadapi perbedaan pendapat, bukannya membuka diri atas perbedaan dan beradu fakta yang berdasar kebenaran.
Baca Juga: LBH PP Muhammadiyah Jadi Kuasa Hukum Haris Azhar dan Fatia
“Sangat disayangkan jika perdebatan akademis berujung pada pelaporan ke polisi dan kini berujung ke penetapan tersangka, seperti yang dialami Haris Azhar dan Fatia,” urainya.
Dia mengatakan, ketakutan akan semakin menyebar untuk meredam yang berani berbeda, yang berani menyuarakan suara rakyat, dan mengungkap kebenaran di muka publik. Negara demokrasi kita tanpa disadari, bisa berujung ke negara otoriter, dengan label-label yang seakan-akan masih demokratis, padahal pada praktiknya bertolak belakang dengan nilai-nilai demokrasi.
Lebib lanjut Herzaky menegaskan bahwa Partai Demokrat bakal bersuara di parlemen dan memberikan pemahaman bahwa negara kekinian sedang tidak baik-baik saja. Ia mengingatkan, agar para pejabat tak alergi terhadap kritik.
“Demokrat akan terus bersuara di parlemen, di ruang publik, untuk mengedukasi dan memberikan pemahaman ke publik, kalau situasi Indonesia ini sedang tidak baik-baik saja, dan kita harus berbuat sesuatu. Bukan diam saja,” tegas Herzaky.
Ia menuturkan sejatinya pejabat publik tidak alergi dengan kritik, kemudian membuka ruang untuk berdialektika, berbeda pendapat, selama berdasarkan data dan fakta yg bisa dipertanggungjawabkan, alias jelas sumber dan metodologinya.
“Seharusnya pejabat publik menjadi teladan dalam berdemokrasi, bukan malah menjadi bagian yang menggerogotinya. Argumen diadu dengan argumen, data dan fakta diadu dengan data dan fakta, riset diadu dengan riset. Bukan malah membawa perdebatan akademis ke ranah hukum,” tandasnya.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: