Pasangan suami istri diketahui menjadi pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan. Besar harapan, jaringan teroris pelaku bom di Makassar ditangkap hidup-hidup untuk membongkar motif di balik aksi terorisme itu.
Menurut pengamat militer dan intelijen Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati, jaringan pelaku bom Makassar harus ditangkap hidup-hidup guna mengungkap apa sebenarnya motif penyerangan tersebut.
"Akan sangat baik ketika aparat dapat menangkap jaringan secara hidup-hidup agar dapat diketahui kepastian jaringannya. Indikator dalam menentukan siapa pelaku harus jelas," tutur wanita yang akrab disapa Nuning saat dihubungi Indozone, Senin (29/3/2021).
Dia menjelaskan, pada saat ini setiap ada pemboman pasti analisa pelaku mengarah kepada jaringan teroris lama. Padahal, sambung Nuning, beberapa waktu lalu sempat muncul lone wolf yang melakukan tindakan terorisme sendirian.
"Variable dalam mengukur seharusnya tak menampik adanya kepentingan politik, bisnis dan lain-lain. Dalam menganalisa kejadian terorisme, kita harus holistik.Jadi probabilitas bisa saja ada hubungan atau tidak sama sekali dengan penangkapan teroris secara masal di Sulsel," urainya.
"Kejadian bom bunuh diri, tentu saja signal bahwa mereka ingin menunjukan eksistensinya. Oleh karena itu harus dikenali oleh aparar embrio terorisme di Indonesia itu apa," sambungnya.
Baca Juga: 4 Terduga Teroris di Bekasi dan Condet Ditangkap, Peran Mereka Bikin Merinding!
Nuning menambahkan, secara akademis militer di seluruh dunia juga bertugas menghadapi terorisme. Implikasi pemberantasan atau penanggulangan terorisme oleh militer dan polisi berbeda perspektif hukumnya karena terorisme bisa menjadi kejahatan terhadap negara atau kejahatan terhadap publik.
"Penanganan terorisme di Indonesia selama ini cenderung masih dalam klasifikasi kejahatan terhadap publik sehingga cenderung ditangani Polri semata. Jika terorisme mengancam keselamatan Presiden atau pejabat negara lainnya sebagai simbol negara, maka terorisme tersebut menjadi kejahatan terhadap negara dan harus ditanggulangi oleh TNI," papar mantan anggota Komisi I DPR RI itu.
Sedangkan, jika terkait dengan jenis senjata dan bom yang digunakan oleh teroris masih tergolong konvensional, maka masuk kewenangan Polri. Tetapi, bila senjata dan bom yang digunakan oleh teroris tergolong senjata pemusnah massal (Weapon of Mass Deatruction), seperti senjata nuklir, senjata biologi, senjata kimia dan senjata radiasi, maka yang menangani adalah TNI.
"Selain subyek ancaman teror dan jenis senjata, maka rejim kedaulatan suatu negara juga berimplikasi kepada kewenangan penegakan hukum. Jika kejahatan teror dilakukan di wilayah kedaulatan penuh Indonesia, maka Polri dan TNI bisa bersama-sama menanggulangi. Tetapi jika rejimnya adalah hak berdaulat, maka TNI yang melakukan aksi penanggulangan," jelas Nuning.
Hal ini, kata Nuning, penting untuk diketahui sehingga kedudukan siapa yang menangani dapat diterapkan dengan tepat.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: