Analis Pasar Modal Hans Kwee mengungkapkan, krisis akibat pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang terjadi saat ini, jauh lebih dahsyat ketimbang krisis Asia tahun 1998-1999 dan krisis Subprime Mortgage di Amerika Serikat tahun 2008-2009.
Menurut Hans, krisis akibat Covid-19 ini jauh lebih dahsyat karena kedua krisis sebelumnya hanya merupakan krisis ekonomi saja. Sedangkan, krisis akibat pandemi corona menyebabkan korban jiwa dan masalah kesehatan di hampir seluruh negara di dunia.
Hans mengatakan, virus corona tipe baru ini punya kecepatan penyebaran tinggi, meskipun di awal tingkat kematian tercatat relatif rendah, hanya sekitar 3,4 persen. Tetapi ketika penyebarannya tidak terkendali, fasilitas kesehatan pun menjadi tidak mencukupi untuk merawat pasien.
Kondisi ini menaikkan angka kematian sampai sekitar 10 persen. Upaya yang dilakukan adalah memutus rantai penyebaran virus dengan lockdown, social distancing dan physical distancing.
"Konsekuensinya berbagai aktivitas kehidupan yang mempengaruhi perekonomian melambat, atau bahkan terhenti. Bila sebuah bisnis berhenti, akan muncul masalah. Sebab, masih ada biaya-biaya operasi yang ditanggung seperti biaya sewa, gaji, cicilan utang dan bunga," ujar Hans Kwee yang juga merupakan Direktur Anugerah Mega Investama, dalam pesan tertulis yang diterima Indozone, Senin (20/4/2020).
"Beberapa perusahaan sudah melakukan PHK terhadap karyawan akibat turunnya omzet dan atau berhentinya operasi selama pandemi Covid-19," sambungnya.
Sementara itu, kata Hans Kwee, terkait dengan krisis ekonomi 1998-1999, krisis yang berpusat di kawasan Asia itu bermula di Thailand dan menyebar negara lain di Asia seperti Indonesia, Malaysia dan Korea Selatan.
Menurutnya, Indonesia mengalami pukulan akibat melemahnya kurs rupiah. Pelemahan nilai tukar ini memukul sektor rill yang punya utang dalam mata uang asing dan yang mengandalkan bahan baku impor. Akibatnya, kredit macet di sektor perbankan naik.
Kondisi itu semakin diperparah dengan terjadinya gejolak politik di Indonesia dan menambah ketidakpastian ekonomi. Terjadi rush pada perbankan akibat krisis multidimensi ini dan rumor gagal bayar perbankan, yang menyebabkan runtuhnya system keuangan Indonesia.
Sementara pada kasus krisis subprime mortgage tahun 2008-2008 yang berpusat di AS, terjadi akibat kurang prudent-nya penyaluran kredit perumahan. Periode rendahnya suku bunga untuk mendorong ekonomi dan apresiasi harga rumah di AS, kemudian mendorong spekulasi di sektor properti.
Banyak pemberi kredit perumahan kurang hati-hati, sehingga agunan tidak sesuai nilai fundamental. Selain itu ada berbagai permasalahan, mulai dokumen tidak lengkap hingga rasio debt to income dan payment to income (PTI) yang terlalu tinggi.
"Inilah kemudian terjadilah krisis subprime mortgage, yang dianggap krisis kedua terbesar di dunia setelah krisis 1930," tuturnya.
Pada saat krisis terjadi, kata Hans Kwee, aliran dana keluar dari perekonomian Indonesia kemudian menimbulkan tekanan pada nilai tukar. Investor asing kembali ke negaranya akibat krisis tersebut. Tetapi setelah The Fed menurunkan suku bunga dan melakukan quantitative easing (QE), pasar saham dunia segera pulih.
"Indonesia juga hanya terdampak satu tahun akibat krisis Subprime Mortgage. Sesudah itu pasar saham segera pulih karena perekonomian Indonesia tidak terlalu terdampak," ungkapnya.
Kembali lagi ke krisis Covid-19 tahun ini, kata Hans Kwee, ia mengapresiasi segala stimulus yang digelontorkan pemerintah, demi membantu dunia usaha dan masyarakat keluar dari masalah. Pemerintah Indonesia juga mengikuti langkah berbagai negara lain, yang mengeluarkan stimulus untuk melawan dampak penyebaran Covid-19.
Pemerintah AS merencanakan mengeluarkan dana sampai USD2 triliun, ditambah kebijakan pembelian surat berharga oleh The Fed yang mencapai USD2,3 triliun.
"Di Indonesia, kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatur tata cara pengajuan keringanan kredit bank dan pinjaman leasing bagi pihak yang terdampak Covid-19 sangat baik. Ini bisa mengurangi beban UKM dan pekerja informal," tuturnya.
Tapi, kebijakan seperti ini hanya mampu mendorong pasar saham naik sesaat dan kemudian melemah kembali. Pelaku pasar terlihat lebih fokus pada kapan pandemi Covid-19 mencapai puncak dan mulai turun. Pasar keuangan akan sangat optimistis ketika jumlah yang sembuh lebih banyak daripada kasus baru.
"Sekarang, sebesar apapun stimulus, selama roda ekonomi tidak dapat diputar maka tidak akan terjadi pemulihan," kata dia.
Hans Kwee menyarankan, saat ini pelaku pasar harus fokus kira-kira sampai kapan virus ini bisa ditanggulangi, atau bahasa sederhananya sampai kapan aktivitas ekonomi bisa normal kembali. Krisis kali ini menjadi kompleks karena semua pihak kesulitan memperkirakan sampai kapan masalah ini akan berakhir.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: