Senin, 02 JUNI 2025 • 17:51 WIB

Alasan Pemda DIY Relokasi TKP ABA ke Eks Menara Kopi Kotabaru 

Author
 
INDOZONE.ID - Pemda DIY melalui Dinas Perhubungan (Dishub) DIY, bersama Pemkot Yogyakarta, dan Kawedanan Panitikismo Keraton Yogyakarta secara resmi telah memulai proses relokasi TKP ABA ke kawasan premium Kotabaru, seiring berakhirnya masa kontrak pemanfaatan lahan ABA, sejak 13 Mei lalu.
 
Kepala Dishub DIY, Chrestina Erni Widyastuti menjelaskan, relokasi tersebut merupakan bagian dari upaya revitalisasi fungsi kawasan, dan pengalihan infrastruktur parkir ke lokasi yang lebih sesuai dengan rencana pengembangan kota.
 
Terlebih, kontrak pemanfaatan lahan ABA telah berakhir, dan material dari parkir ABA akan dimanfaatkan untuk pengembangan parkir “existing” di Ketandan.
 
“Sebagai tahapan awal, kami telah melakukan pemagaran area ABA pada 19 Mei 2025,” paparnya melalui siaran pers Humas Pemda DIY, Senin (6/5/2025).
 
Penutupan ini, tegas Chrestina, sekaligus bentuk pemberitahuan kepada Juru Parkir (Jukir) dan Pedagang Kaki Lima (PKL) untuk bersiap pindah ke Eks Menara Kopi Kotabaru.
 
Pihaknya menerangkan, eks Menara Kopi yang terletak di sebelah selatan SD Kanisius Kotabaru ini masih termasuk kawasan sirip Malioboro.
 
Area tersebut merupakan tanah SG (Sultan Ground), yang diperkirakan mampu menampung sekitar 120 unit kendaraan roda dua dan 63 kendaraan roda empat. Selain itu, bangunan relokasi juga disiapkan untuk menampung lebih dari 150 PKL.
 
 
Lebih lanjut Chrestina menambahkan, lahan seluas 4 ribu meter persegi dengan luas bangunan sekitar 2.300 meter persegi tersebut disewa oleh Pemda DIY melalui Dishub DIY, mulai Juni 2025 hingga Desember 2026 mendatang. Selama masa itu, seluruh jukir dan PKL dibebaskan dari kewajiban pembayaran sewa tempat.
 
Kami berharap relokasi ini tidak mengganggu aktivitas para pelaku usaha maupun pengunjung, karena lokasinya tidak jauh dari Malioboro” imbuhnya.
 
Setelah pembongkaran TKP ABA, lanjutnya, lahan ini akan dikembangkan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) DIY menjadi Ruang Terbuka Hijau (RTH). Ini bagian dari upaya Pemda DIY dalam menjaga keseimbangan antara pelestarian lingkungan, penguatan nilai budaya, dan pembangunan kota yang berkelanjutan.
 
Pihaknya memaparkan, RTH telah dirancang mencakup tiga zona utama. Yakni zona publik, sosial, dan alam, dengan tutupan hijau sekitar 55 persen dan kapasitas pengunjung hingga seribu orang. Namun, lahan seluas 7 ribu meter persegi ini masih dalam tahap pengukuran ulang oleh Dinas Pertanahan dan Tata Ruang (DPTR) dan pihak Keraton Yogyakarta.
 
“RTH akan ditanami pohon-pohon endemik yang memiliki nilai filosofis dan simbolis bagi masyarakat Yogyakarta,” sambungnya.
 
Pengembangan kawasan ini mendukung keberadaan Sumbu Filosofi sebagai warisan budaya dunia yang ditetapkan oleh UNESCO, karena ini akan berfungsi sebagai ruang interaksi, edukasi, rekreasi, serta pelestarian lingkungan dan budaya.
 
Adapun Detail Engineering Design (DED) pembangunan RTH, sebutnya, akan disusun pada tahun 2025 ini, dengan dukungan Dana Keistimewaan (Danais). Pelaksanaan pembangunan akan menyesuaikan dengan penyelesaian DED, dan diperkirakan berlangsung pada akhir 2025 atau 2026.
 
 
Berdasarkan data DLH Kota Yogyakarta, pada tahun 2024 total persentase RTH di Kota Yogyakarta mencapai sekitar 23,351 persen. Angka tersebut terdiri atas 8,063 persen RTH publik dan 15,288 persen RTH privat.
 
Persentase ini, menurutnya, masih lebih kecil dibandingkan standar ideal yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dalam beleid tersebut disebutkan wilayah perkotaan seharusnya memiliki minimal 30 persen RTH, yang terdiri dari 20 persen RTH publik dan 10 persen RTH privat. 
 

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber: Keterangan Pers