Selasa, 14 DESEMBER 2021 • 18:48 WIB

Menentang Krisis Iklim, YAGASU Digandeng GMNI: Semoga Mahasiswa Berpihak Kepada Lingkungan

Author

Menentang krisis iklim di Indonesia khususnya di Sumater Utara. GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) Bersama Yagasu (Yayasan Gajah Sumatera) dan WALHI SUMUT (Wahana Lingkungan Hidup) melaksanakan kegiatan workshop di Aula Fakultas Kehutanan Univers

Menentang krisis iklim di Indonesia khususnya di Sumater Utara. GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) Bersama Yagasu (Yayasan Gajah Sumatera) dan WALHI Sumut (Wahana Lingkungan Hidup) melaksanakan kegiatan workshop di Aula Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara, bertemakan “Youth Against Climate Crisis.” 

Manager Riset dan Monitoring YAGASU, Grace Yanti Panjaitan, mengaku dirinya selaku narasumber seminar tersebut, memberikan edukasi tentang topik mengenai Optimalisasi peranan kaum muda dalam mengatasi krisis iklim melalui mitigasi. 

"Topik ini diberikan karena merupakan salah satu opsi peranan yang paling besar dampaknya dapat mengurangi/membatasi emisi, sehingga perubahan iklim dapat dicegah," tutur Grace Yanti, Selasa (14/12/2021). 

Lanjut Grece, secara umum peranan yang dapat tercakup dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Menurutnya bahwa adanya perbedaan yang sangat jelas antara mitigasi dan adaptasi.Dimana mitigasi adalah upaya yang dilakukan untuk membatasi atau menghambat terjadinya perubahan iklim melalui upaya penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK).

"Nah untuk peningkatan penyerapan GRK, antara lain melalui aktivitas penanaman pohon, penerapan sistem pengelolaan agroforestry, hemat energi, hemat air dan melakukan edukasi lingkungan ke sekolah dan kampus," terangnya. 

“Yagasu yang merupakan Lembaga saya bekerja telah konsisten melakukan penanaman mangrove dari pesisir timur Banda Aceh hingga Sumatera Utara dengan melakukan pemulihan kurang lebih 12.000 ha lahan kritis mangrove”, sambungnya.

Dalam hal ini dia juga berharap, melalui wokshop ini peserta semakin memahami penyebab kerusakan iklim dan sigap mengambil peranan melalui mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang dapat diimplementasikan melalui gaya hidup kaum muda sehari-hari.

"Misalnya semakin giat melakukan penanaman pohon, efisiensi penggunaan energi listrik, menggunakan transportasi publik, efisiensi mengelola makanan, semoga meningkatkan edukasi mahasiswa tentang lingkungan sehingga lahir inovasi-inovasi baru yang lebih berpihak pada lingkungan sehingga target dunia akan mengurangi GRK dan pemanasan suhu dibawah 1.5 derajat celcius dapat terwujud," ucapnya. 

Selain itu, Manager GIS dan Database WALHI SUMUT, Denizen Banurea, katakan dirinya membahas mengenai tanggapan atas protes hasil COP 26, apakah sudah memenuhi keadilan iklim dan keadilan antargenerasi. 

Dia jelaskan, Krisis iklim adalah sebuah krisis yang dialami masyarakat di seluruh dunia yang disebabkan oleh perubahan iklim. Rangkaian Pertemuan Konferensi Iklim COP 26 UNFCCC telah usai. Sidang Pleno penutupan COP26/CMA.3/CMP.16 dilaksanakan pada hari Sabtu, tanggal 13 November 2021. Berbagai keputusan terkait dengan elemen-elemen Paris Agreement telah dihasilkan.

"Jadi, Pakta Iklim Glasgow (The Glasgow Pact) mendesak pengurangan emisi yang lebih ambisius, dan menjanjikan lebih banyak uang untuk negara-negara berkembang  untuk membantu mereka beradaptasi dengan dampak iklim. Tapi banyak negara pihak yang menggarisbawahi bahwa janji itu tidak cukup jauh untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5 derajat Celcius," ungkapnya.

Menurutnya masalah iklim bukanlah masalah satu negara melainkan masalah global. Sehingga perlu dilakukan percepatan terhadap pengambilan kebijakan dan keputusan untuk mengatasi krisis iklim dengan tidak hanya melibatkan kaum pemimpin politik. Namun juga kaum muda dari berbagai kalangan. 

"Sejauh ini WALHI SUMUT tetap berupaya menjalin keterlibatan kaum muda dengan aktif bersuara untuk keadilan iklim dan keadilan antargenerasi," jelasnya. 

Sedangkan, Andreas Silalahi yang memaparkan materi mengenai Optimalisasi peranan kaum muda dalam mengatasi krisis iklim melalui adaptasi. Dia kakatan, mengatasi iklim adalah tanggung jawab seluruh gender baik perempuan maupun laki-laki. 

"Sehingga aksi Bersama menentang krisis iklim ini lebih optimal untuk masa depan yang lebih baik. Melalui pelaksanaan workshop ini diharapkan ada kegiatan lanjutan yang dapat dikerjakan baik secara organisasi maupun kolaboratif," katanya mengakhiri.

Untuk diketahui, workshop ini juga dihadiri Wakil Dekan I Fakultas Kehutanan USU, Dr. Alfan Gunawan Ahmad, S.Hut, M.Si. Dia juga mengapresiasi diselenggarakannya workshop krisis iklim ini.

"Jadi workshop ini sebagai media meningkatkan kesadartahuan kaum muda dan mengambil peran dalam mengatasi krisis iklim," pungkasnya.  

Artikel Menarik Lainnya:

 

 

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber: