Rabu, 07 APRIL 2021 • 23:52 WIB

Militer Myanmar Lagi-lagi Tembaki Pengunjuk Rasa, 13 Orang Tewas

Author

File Photo: Para pengunjuk rasa berlindung di balik barikade selama demonstrasi menentang kudeta militer di Mandalay, Myanmar 21 Maret 2021. (photo/REUTERS/Stringer/File Photo)

Tentara Myanmar lagi-lagi dikabarkan telah menembaki pengunjuk rasa anti kudeta hingga menewaskan setidaknya 13 orang dan melukai beberapa orang lainnya pada Rabu (7/4), sementara serangkaian ledakan kecil menghantam kota komersial Yangon.

Protes dan pemogokan nasional terus berlanjut sejak itu meskipun militer menggunakan kekuatan mematikan untuk memadamkan oposisi.

Pasukan keamanan melepaskan tembakan terhadap pengunjuk rasa di kota barat laut Kale ketika mereka menuntut pemulihan pemerintah sipil Aung San Suu Kyi, kata media domestik.

Sementara itu, sedikitnya tujuh ledakan kecil terdengar di Yangon, termasuk di gedung-gedung pemerintah, rumah sakit militer, dan pusat perbelanjaan, kata penduduk setempat. Tidak ada korban jiwa dan tidak ada klaim tanggung jawab.

Penguasa militer negara itu mengatakan gerakan pembangkangan sipil "menghancurkan" Myanmar.

Jenderal Senior Min Aung Hlaing, kepala junta, mengatakan bahwa gerakan pembangkangan sipil, atau CDM, telah menghentikan pekerjaan rumah sakit, sekolah, jalan, perkantoran, dan pabrik.

"Meski protes dilakukan di negara tetangga dan dunia internasional, namun tidak merusak bisnis. CDM adalah kegiatan untuk menghancurkan negara," kata dia dalam pernyataan yang dirilis Rabu dilansir dari REUTERS.

Menurut kelompok advokasi Asosiasi Tahanan Politik (AAPP), sebanyak 581 orang, termasuk puluhan anak-anak, telah ditembak mati oleh pasukan dan polisi dalam kerusuhan yang berlangsung hampir setiap hari sejak kudeta, dan pasukan keamanan telah menangkap hampir 3.500 orang, dengan 2.750 orang di antaranya masih tertahan.

Di antara mereka yang ditahan adalah Suu Kyi dan tokoh-tokoh terkemuka di partai Liga Nasional untuk Demokrasi, yang memenangkan pemilihan pada November tahun lalu yang dibatalkan oleh kudeta tersebut.

Kemampuan gerakan anti-kudeta yang sebagian besar dipimpin oleh pemuda untuk mengatur kampanye dan berbagi informasi melalui media sosial dan pesan instan telah dilumpuhkan oleh pembatasan internet.

"Myanmar telah runtuh secara bertahap ke dalam jurang informasi sejak Februari. Komunikasi sekarang sangat terbatas dan hanya tersedia untuk beberapa orang," kata Alp Toker, pendiri observatorium pemblokiran internet NetBlocks, kepada Reuters.

Baca juga: Menhub Sebut 81 Juta Orang Bakal Mudik Lebaran Jika Tidak Dilarang

Sementara itu di Jakarta, Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab membahas bagaimana Inggris dan masyarakat internasional dapat mendukung upaya Asia Tenggara untuk menyelesaikan krisis di Myanmar, kata Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi setelah pertemuannya dengan Raab.

Indonesia termasuk di antara beberapa negara Asia Tenggara yang mendorong pembicaraan tingkat tinggi tentang Myanmar.

Thailand, tetangga Myanmar dan yang memiliki hubungan militer dekat dengan junta, mengatakan pada Rabu bahwa mereka tidak setuju dengan kekerasan tersebut tetapi masalah tersebut harus ditangani dengan hati-hati.

"Kami tidak dapat benar-benar melakukan apa yang kami inginkan karena kami telah berbagi perbatasan dan kami perlu hidup dan bergantung satu sama lain di banyak wilayah," kata Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha, yang merebut kekuasaan dalam kudeta tahun 2014 ketika menjadi panglima militer, sebelum mengambil peran sipilnya saat ini pada 2019.

Artikel Menarik Lainnya:

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber:

TERPOPULER
TAG POPULER
BERITA TERBARU
Link berhasil disalin!