Selasa, 09 MARET 2021 • 16:15 WIB

Terungkap Guru Sejarah Perancis Dipenggal Bukan Karena Karikartur Nabi Muhammad SAW

Author

Samuel Paty tewas dipenggal usai dituduh perlihatkan kartun Nabi Muhammad SAW. (Ist)

Misteri kasus pemenggalan kepala terhadap guru sejarah di Perancis yang awalnya gara-gara mempertontonkan gambar Nabi Muhammad SAW akhirnya terungkap.

Pelajar perempuan berusia 13 tahun tersebut, yang namanya tidak untuk dipublikasikan, sebelumnya memberitahu bahwa guru itu meminta para murid beragama Islam keluar dari kelas.

Setelah ditelusuri, ternyata siswi tersebut berbohong perihal Samuel Paty telah menunjukkan karikatur Nabi Muhammad SAW.

Samuel Paty, Oktober 2020, dibunuh secara sadis karena disebut menunjukkan karikatur Nabi Muhammad dalam pelajaran tentang kebebasan berbicara.

Kebohongan siswi tersebut tampaknya cuma hal sepele, namun cerita kemudian menyebar dan jadi bola panas saat masuk ke media sosial yang menyebabkan kengerian yang tak terbayangkan.

Sepuluh hari kemudian, gurunya meninggal - dipenggal oleh teroris. Keluarga Paty dibiarkan hancur, Prancis mengalami trauma dan gadis serta ayahnya menghadapi tuntutan pidana.

Dua remaja lainnya juga dituntut karena menerima uang dari pelaku Abdullakh Anzorov, setelah memberikan petunjuk kepada Samuel Paty.

Pada Minggu, media Le Parisien mengungkapkan bahwa gadis, yang hanya dikenal sebagai Z, telah mengakui bahwa dia telah salah menuduh Paty.

Surat kabar itu mebeberkan kalau gadis itu telah mengaku berbobong kepada hakim investigasi anti-teroris.

Usut punya usut ternyata gadis itu awalnya berbohong pada ayahnya kenapa dia sampai tidak masuk kelas sejarah.

“Dia tidak akan berani mengakui kepada ayahnya alasan sebenarnya dia dikeluarkan sebelum tragedi itu, yang sebenarnya terkait dengan perilakunya di sekolah,” lapor Le Parisien.

Pada 6 Oktober tahun lalu, Paty, seorang guru sejarah dan geografi, memberikan kelas tentang "dilema".

Dia mengajukan pertanyaan "menjadi atau tidak menjadi Charlie?", Mengacu pada tagar #JeSuisCharlie yang digunakan untuk menyatakan dukungan untuk koran setelah serangan teroris di kantornya pada Januari 2015 yang menewaskan 12 orang.

Paty dikatakan telah mengundang murid-murid Muslim yang dikabarkan terkejut kenapa guru itu mengungkit isu itu lagi sambil karikatur Nabi kepada murid-muridnya.

Dua hari kemudian, gadis beralasan tidak masuk kelas pada ayahnya. Dia mengarang cerita kalau gurunya telah menunjukkan karikartur Nabi dan meminta siswa muslim meninggal kan kelas.

Gadis itu pun cerita pada ayahnya telah diskors dari sekolah selama dua hari.

Setelah mendengar cerita itu, ayahnya yang marah, Brahim Chnina, 48, kelahiran Maroko, berbagi video di Facebook di mana dia mengecam guru sejarah itu dan memintanya untuk dipecat dari sekolah menengah di Conflans-Sainte-Honorine.

Video ini membuat teman-temannya marah di media sosial dan menuduh korban telah melakukan 'diskriminasi'.

Sang ayah kemudian mengadu ke sekolah dan polisi, mengklaim guru anaknya bersalah karena "menyebarkan gambar telanjang Nabi", dan menuduhnya Islamofobia di sekolah.

Isu ini kemudian menggelinding di media sosial dan sampailah ke teling Anzorov (18) seorang Chechnya yang tinggal di Normandy dan menjelajahi internet untuk suatu tujuan.

Pada 16 Oktober, Anzorov melakukan perjalanan ke Conflans-Sainte-Honorine lalu membayar dua remaja dari sekolah itu untuk mengidentifikasi Samuel Paty saat dia akan berangkat ke rumah pada Jumat malam dan memenggalnya.

Kebohongan seorang gadis telah menyebabkan terbunuhnya seorang pria dan ayah dari seorang anak laki-laki berusia lima tahun.

Gadis itu tetap mengarang ceritanya sampai polisi memberi tahu kalau dia telah berbohong. Polisi mengungkap fakta kalau kelas itu tidak ada.

Para penyelidik melaporkan kalau gadis itu menyayangi ayahnya dan tidak ingin kebohongannya terbongkar.

Pengacara gadis itu, Mbeko Tabula, menegaskan kalau perasaan bersalah kini membayangi gadi itu.

“Kelakuan bapak yang berlebihan, membuat dan memposting video yang menuduh guru itu yang menyebabkan kejadian ini,” kata Tabula kepada Parisien.

“Klien saya berbohong, tapi kalaupun benar, reaksi ayahnya masih tidak proporsional.”

Sang ayah pun kemudian menyadari perbuatannya dan mengaku kalau apa yang telah dilakukan merupakan perbuatan bodoh hingga terjadi peristiwa berdarah 'pembunuhan oleh teroris'.

"Saya tidak pernah mengira kalau pesan saya akan dilihat oleh teroris. Saya tidak ingin menyakiti siapa pun dengan pesan itu. Sulit membayangkan bagaimana kami sampai di sini, bahwa kami kehilangan seorang profesor sejarah dan semua orang menyalahkan saya."

Artikel Menarik Lainnya:

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber:

TERPOPULER
TAG POPULER
BERITA TERBARU
Tentang Kami Redaksi Info Iklan Kontak Pedoman Media Siber Kode Etik Jurnalistik Pedoman AI dari Dewan Pers Karir