Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) menyebut pengungsi Rohingya rentan menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Hal itu dikarenakan selama proses migrasi kebanyakan dari mereka melintasi perbatasan melalui jalur migrasi yang tidak teratur.
"Pengungsi Rohingya dapat menjadi korban tindak pidana perdagangan orang di tengah perjalanan penyelundupan ke negara yang diinginkan, ketika perantara perjalanan memanipulasi posisi rentan mereka. Situasi ini mencerminkan keterkaitan yang melekat antara migrasi tidak teratur, praktik kriminal penyelundupan manusia dan TPPO membuat pengungsi Rohingya lebih rentan terhadap eksploitasi dan mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi," kata Deputy Chief of Mission IOM Indonesia, Theodora Suter, Selasa (12/10/2021).
Hal itu disampaikannya dalam diskusi yang dilakukan secara virtual bersama Pemerintah Kota (Pemko) Medan. Ia mengatakan diskusi yang mereka lakukan merupakan rapat koordinasi peningkatan kesadaran dan membangun kapasitas pemangku kepentingan tentang migrasi aman dan pencegahan tindak pidana perdagangan orang di Kota Medan.
Ia menjelaskan perdagangan orang merupakan masalah yang signifikan di Indonesia. Seperti diketahui bersama, Indonesia bukan hanya negara asal dan transit, tetapi juga negara tujuan perdagangan orang lintas batas dan dalam negeri.
"Meskipun kasus TPPO kebanyakan melibatkan perempuan dan anak-anak, namun TPPO semakin diakui terjadi pada semua orang, baik warga negara Indonesia, warga negara asing, maupun mereka yang tidak memiliki kewarganegaraan, termasuk pengungsi Rohingya," jelasnya
Ia mengungkapkan pada 2020 terdapat dua kali kedatangan pengungsi Rohingya melalui laut dengan total 395 orang yang turun di Lhokseumawe, Aceh, antara Juni hingga September. Sebagian pengungsi kini berada di Medan dan juga terkena dampak pandemi kesehatan global (Covid-19).
"Mereka adalah salah satu kelompok yang paling terpengaruh dalam Pandemi, dan pembatasan perjalanan internasional ditambah dengan tekanan ekonomi yang menurun terus membuat lebih banyak orang rentan terhadap iming-iming dan risiko perdagangan manusia," ungkapnya.
"Oleh karena itu, terdapat kebutuhan untuk mengatasi risiko perdagangan manusia secara lebih komprehensif, termasuk inisiatif pencegahan dan penanggulangan yang dapat mengurangi kerentanan para migran dan komunitas setempat terhadap perdagangan manusia," sambungnya.
Maka untuk meningkatkan respon cepat dan efektif terhadap penanganan dan penanggulangan TPPO kepada para migran, diperlukan koordinasi dan kerjasama yang baik dari petugas garda depan yang meliputi unsur pemerintah, termasuk perwakilan dari Gugus Tugas TPPO maupun Gugus Tugas Refugee, organisasi masyarakat sipil, dan pemangku kepentingan terkait lainnya.
"Peningkatan kapasitas dan penyadaran bagi petugas garda depan tentang TPPO dan penyelundupan manusia akan menjadi kegiatan yang harus diprioritaskan," pungkasnya.
Sementara itu, Kepala Badan Kesbangpolinmas Kota Medan, Arjuna Sembiring mengatakan bahwa Kota Medan merupakan kota multi etnis. Di mana, masyarakat harus memiliki ketahanan nasional yang dapat mengatasi masalah keamanan.
"Artinya, kita sebagai satu bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan dapat menghadapi serta mengatasi segala tantangan dan ancaman baik dari luar maupun dari dalam," ucapnya.
"Selain itu, kita juga memiliki tugas di bidang fasilitas kewaspadaan nasional seperti penanganan konflik sosial, penangan potensi ancaman, tantangan dan gangguan di daerah melalui deteksi dini dan cegah dini melalui pembentukan tim kewaspadaan dini. Kita juga membuat pemberdayaan forum kewaspadaan dini masyarakat (FKDM) dan penguatan pengawasan orang asing, organisasi masyarakat asing, lembaga asing dan tenaga kerja asing," terangnya.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: