Kanan: Donald Trump (REUTERS/Tom Brenner); Kiri: Joe Biden (REUTERS/Mike Segar)
Pemilihan presiden Amerika Serikat (Pilpres AS) tahun ini sudah layaknya seperti drama. Pasalnya, kedua kubu antara Donald Trump dan Joe Biden sudah saling menggugat dan saling sindir satu sama lain.
Kubu Donald Trump masih menganggap hasil perhitungan suara pilpres kali ini terdapat berbagai kecurangan, sehingga ia menggugat hasil suara di negara bagian Pennsylvania. Sementara Joe Biden mulai menggugat terhadap badan Administrasi Layanan Umum (GSA) yang dianggap tidak segera mengakui kemenangan dirinya.
Melansir Reuters, pihak Jaksa Agung AS William Barr pada Senin lalu sebenarnya sudah memberikan izin pihak jaksa federal dan FBI terkait tudingan Trump terhadap rumor kecurangan dalam perhitungan suara. Hal ini terlihat dari surat yang dikeluarkan Barr kepada pihak berwenang.
“Saya mengizinkan Anda untuk mengajukan tuduhan substansial tentang penyimpangan pemungutan suara dan tabulasi suara sebelum sertifikasi pemilihan di yurisdiksi Anda dalam kasus tertentu, seperti yang telah saya lakukan dalam kasus tertentu," tulis Barr dalam surat kepada jaksa federal dan FBI.
Sayangnya, sampai saat ini tudingan Trump masih tak memiliki bukti yang cukup kuat. Hal itu yang membuat Biden menuding Trump tak tahu malu karena tak mengakui kekalahannya.
Baca Juga: Kemenangannya Tak Kunjung Diakui, Joe Biden Berencana Gugat Badan Peralihan Presiden
Sementara itu, tim peralihan Presiden terpilih Joe Biden sedang mempertimbangkan untuk melakukan tindakan hukum terhadap badan Administrasi Layanan Umum (GSA) yang dianggapnya lambat mengakui kemenangan Joe Biden. Namun, pejabat tersebut mengatakan tim transisi akan mempertimbangkan tindakan hukum jika pengakuan tidak juga diberikan.
"Tindakan hukum tentu saja memungkinkan, tetapi ada opsi-opsi lain juga yang kami pertimbangkan," kata pejabat dari Biden yang menolak menjelaskan pilihan-pilihan lain yang dimaksud.
Penundaan pengakuan menyebabkan kerugian pada tim Biden dalam mendapatkan pendanaan federal sebesar jutaan dolar AS. Tim juga menjadi terhambat dalam melakukan pergerakan untuk bertemu dengan para pejabat badan intelijen dan departemen-departemen lain.
Tim transisi perlu diakui agar dapat mengakses dana untuk membayar gaji, konsultan, dan biaya perjalanan, juga akses mendapatkan informasi rahasia, kata pejabat itu.
Selain itu, katanya, tim transisi juga tidak memiliki akses ke Departemen Luar Negeri, lembaga yang biasanya memfasilitasi pembicaraan jarak jauh antara para pemimpin negara asing dan presiden terpilih.
Drama pilpres kali ini lebih pelik dibandingkan tahun 2016 lalu. Salah satu penyebabnya adalah opsi early voting yang dikirim menggunakan pos yang banyak dilakukan kubu Biden. Opsi ini disetujui dalam rangka menghindari kerumunan massa di tengah pandemi Covid-19 saat pemilihan langsung pada 3 November 2020 lalu.
Opsi inilah yang akhirnya membuat perhitungan suara agak sedikit lama, dan menjadi sumber kecurigaan kubu Trump yang menganggap ada kecurangan dalam pemilihan suara yang menggunakan sistem pos.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: