Veronica Koman soroti soal untuk calon guru SD 3T. (Twitter)
Aktivis HAM yang getol mendukung Papua merdeka, Veronica Koman membagikan sebuah soal yang diperuntukkan bagi calon guru SD yang akan ditempatkan di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) di Indonesia.
Soal tersebut diduga dibuat oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI.
"Ada seorang penerima beasiswa pendidikan tinggi dari pemerintah. Saat ini, ia masih bersekolah di luar negeri tetapi diketahui dia mendukung kelompok separatis di suatu wilayah. Pendaparat saya..,," demikian soal tersebut ditulis.
Menilai bahwa soal tersebut dibuat berdasarkan pengalaman hidupnya beberapa waktu lalu, Veronica Koman pun menertawakan soal tersebut.
"Sungguh mati, ni pembuat soal baper sekali e. Hari ini, seluruh calon guru SD 3T di negeri ini diberikan soal seperti ini oleh Kemendikbud," tulisnya di Facebook.
Adapun pilihan jawaban dari soal tersebut, yakni 1) penerima beasiswa harus mengembalikan seluruh dana beasiswa yang telah diterima, 2) pemerintah memberikan sanksi kepada penerima beasiswa sesuai dengan hukum, 3) pemerintah seharusnya membatalkan status kewarganegaraan penerima beasiswa.
"Kok pilihannya asem semua," tulis Veronica dengan emoticon tertawa.
Di Twitter, Veronica menyebut bahwa kasus tersebut adalah bukti bahwa kasus yang dialaminya merupakan kasus politis.
"Semua yang mau jadi guru SD 3T di negeri ini dapet soal beginian dari Kemendikbud. Penegasan bahwa kasus gw politis, bukan teknis," katanya.
Seperti diketahui, Veronica Koman beberapa waktu lalu diminta mengembalikan dana beasiswa yang diperolehnya dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan senilai Rp773.876.918.
Hukuman itu diduga merupakan langkah pemerintah Indonesia untuk membungkam dirinya supaya tidak lagi menyuarakan kasus pelanggaran HAM di Papua.
"Pemerintah Indonesia menerapkan hukuman finansial sebagai upaya terbaru untuk menekan saya berhenti melakukan advokasi hak asasi manusia (HAM) Papua. Setelah mengkriminalisasi, lalu meminta Interpol untuk mengeluarkan ‘red notice’, dan mengancam untuk membatalkan paspor saya, kini pemerintah memaksa saya untuk mengembalikan beasiswa yang pernah diberikan kepada saya pada September 2016. Adapun jumlah dana yang diminta adalah sebesar IDR 773,876,918," tulisnya, dalam keterangan pers yang dibagikan
Melalui dinding Facebook-nya, Veronica pun beberapa menyindir sikap pemerintah Indonesia atas hukuman yang dijatuhkan kepadanya tersebut. Salah satunya dengan menyebut NKRI harga 773.876.918.
Direktur Utama Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Rionald Silaban mengatakan penerima beasiswa yang kuliah di luar negeri harus kembali ke Indonesia setelah selesai studi. Dasar itulah yang membuat mereka meminta Veronica Koman mengembalikan uang beasiswa tersebut.
Namun, apa yang disampaikan Rionald itu dibantah oleh Veronica.
"Kenyataannya, saya kembali ke Indonesia pada September 2018 setelah menyelesaikan program ?Master of Laws ?di ?Australian National University?. Faktanya sejak Oktober 2018 di Indonesia, saya melanjutkan dedikasi waktu saya untuk advokasi HAM, termasuk dengan mengabdi di Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia untuk Papua (PAHAM Papua) yang berbasis di Jayapura," tulis Koman.
"Saya ke Swiss untuk melakukan advokasi di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Maret 2019 dan kembali ke Indonesia setelahnya. Saya memberikan bantuan hukum pro-bono kepada para aktivis Papua pada tiga kasus pengadilan yang berbeda di Timika sejak April hingga Mei 2019," lanjutnya.
"Saya lalu berkunjung ke Australia dengan menggunakan visa tiga bulan saya untuk menghadiri wisuda yang diselenggarakan pada Juli 2019. Ketika berada di Australia pada Agustus 2019, saya dipanggil oleh kepolisian Indonesia dan berikutnya saya ditempatkan dalam daftar pencarian orang (DPO) pada September 2019."
"Pada masa Agustus-September 2019 ini, saya tetap bersuara untuk melawan narasi yang dibuat oleh aparat ketika internet dimatikan di Papua, yakni dengan tetap memposting foto dan video ribuan orang Papua yang masih turun ke jalan mengecam rasisme dan meminta referendum penentuan nasib sendiri."
"Bukan hanya ancaman mati dan diperkosa kerap saya terima, namun juga menjadi sasaran misinformasi online yang belakangan ditemukan oleh investigasi Reuters sebagai dibekingi dan dibiayai oleh TNI."
"Kemenkeu telah mengabaikan fakta bahwa saya telah langsung kembali ke Indonesia usai masa studi, dan mengabaikan pula fakta bahwa saya telah menunjukkan keinginan kembali ke Indonesia apabila tidak sedang mengalami ancaman yang membahayakan keselamatan saya."
"Melalui surat ini, saya meminta kepada Kemenkeu terutama Menteri Sri Mulyani untuk bersikap adil dan berdiri netral dalam melihat persoalan ini sehingga tidak menjadi bagian dari lembaga negara yang hendak menghukum saya karena kapasitas saya sebagai pengacara publik yang memberikan pembelaan HAM Papua."
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: