Pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) di masa pandemi virus corona (Covid-19) menjadi tantangan baru bagi penyelenggara pemilihan umum (pemilu). Pasalnya, penyelenggara pemilu dipaksa untuk memasukan instrumen protokol kesehatan dalam setiap pelaksanaan tahapan.
Langkah ini dilakukan untuk mengantisipasi dan melindungi penyelenggara dan pemilih dari ancaman penyebaran Covid-19 saat perhelatan hajat demokrasi itu.
Pelaksanaan Pilkada 2020 gelombang keempat sudah di depan mata. Empat (4) bulan lagi sekitar 270 wilayah akan melaksanakan pemilu lokal memilih kepala daerah.
Dari sejumlah tahapan jelang coblosan ada dua (2) tahapan krusial yakni masa kampanye dan masa tenang. Di dua tahapan ini rentan terjadi transaksi jual beli suara (vote buying) antara kandidat dengan pemilih.
Peneliti Senior Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), Dian Permata menerangkan, prilaku transaksi jual beli suara itu akrab dikenal di Indonesia dengan istilah politik uang. Politik uang selalu menjadi hantu dalam setiap perhelatan demokrasi di Indonesia. Begitu juga pada pelaksanaan pilkada kali ini.
“Rata-rata sekitar 60 persen pemilih ketika ditawari politik uang dari kandidat beserta perangkat turunannya mengaku akan menerima. Alasan mereka menerima itu beragam. Seperti rejeki yang tidak boleh ditolak. Sebagai ongkos coblosan dan sebagai pengganti pendapatan lantaran tidak berkerja pada pada hari itu. Sebagai tambahan untuk kebutuhan dapur dan mencukupi kebutuhan sehari-hari,” kata Dian Permata, Jumat (3/7/2020).
Dian menambahkan, angka-angka itu dicuplik dari hasil penelitian yang dilakukan sebelum masa pandemi Covid-19, yakni medio Januari hingga Maret 2020.
Satu daerah di Pulau Sumatera, di Jawa, dan di Pulau Kalimantan yang melaksanakan Pilkada 2020. Jumlah responden 440. Tingkat kepercayaan (level of confidence) 95 persen. Margin of Error (MoE) 4.47 persen.
Untuk alasan bahwa politik uang itu rejeki tidak boleh ditolak, Sumatera 34,66 persen, Kalimantan, 36,84 persen dan Jawa, 45,83 persen. Sebagai ongkos pengganti lantaran tidak bekerja pada hari H, Sumatera, 24,55 persen, Kalimantan, 31,23 persen dan Jawa, 29,17 persen.
Alasan menambah kebutuhan dapur dan keperluan sehari-hari, Sumatera, 16,25 persen, Kalimantan, 15,09 dan Jawa, 9,09 persen.
Kejadian kisruhnya pemotongan Bantuan Langsung Tunai (BLT) di sejumlah daerah dikhawatirkan menjadi petunjuk baru atau pintu masuk bagi calon kepala daerah yang memilih politik uang sebagai program pemenangannya.
Masyarat makin sensitif dengan segala persoalan yang beririsan dengan uang. Apalagi ditambah dengan ancaman PHK yang menghantui pemilih di 270 wilayah pilkada.
“Klaster wilayah soal kerawanan pemilunya masih makin lebar. Dan varian baru. Karena ini belum terjadi di pilkada sebelumnya (adanya pemilih terkena imbas Covid-19). Di saat bersamaan, Bawaslu akan makin direpoti dengan klaster pemilih model ini,” urainya.
Untuk jenis pilihan, apakah uang atau barang yang diinginkan oleh pemilih jika ditawari politik uang maka untuk Sumatera, uang 64,26 persen dan barang 35,74 persen. Kalimantan 67,72 persen uang dan 32,28 persen barang. Jawa, 76,14 persen uang dan 23,86 persen barang.
“64-76 persen memilih uang ketimbang barang. Ini dilatarbelakangi alasan praktis dan dapat dialokasi sesuai kebutuhan si pemilih. Tentu saja ini juga pastinya linear dengan keinginan si calon pemberi jika ingin menawari. Mudah dan simpel,” tutur Dian.
Sedangkan untuk kategori barang, maka dominan menginginkan sembako, Sumatera 52,53 persen, Kalimantan, 55,43 persen dan Jawa 68,25 persen. Sedangkan untuk bibit/pupuk/alat pertanian dan bibit/pakan/alat perikanan, Sumatera 32,32 persen, Kalimantan 27,17 persen dan Jawa 11.11 persen.
“Seperti pada riset kami sebelumnya yang bertemakan politik uang maka ada irisan momentum antara pelaksanaan pilkada dengan musim tanam atau musim bibit perikanan di karakteristik daerah pertanian dan perikanan atau dengan musim hujan atau musim kemarau”.
Adapun besaran yang diharapkan pemilih kategori uang, di atas 100 ribu, di Sumatera, 22,47 persen, Kalimantan, 39,89 persen dan Jawa, 64,17 persen. Kendati demikian, kata Dian, yang perlu diperhatikan penyelenggara pemilu, terutama Bawaslu, pengaruh jual beli suara itu dapat berlanjut kepada preferensi pilihan politik si pemilih.
Untuk Sumatera, si penerima politik uang mau mengikuti arahan pilihan politik si pemberi sebesar 54,15 persen, Kalimantan 60,35 persen dan Jawa 49,62 persen.
“Di sini pola terlihat. Ada yang menerima politik uang ataupun barang. Tapi tidak semua si penerima itu mau mengikuti arahan pilihan politik si pemberi. Dia hanya memanfaatkan momentum pilkada untuk mengeruk keuntungan semata," pungkasnya.
Artikel Menarik Lainnya:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: