Untuk menyelesaikan konflik antar dua negara atau juga dua daerah bisa menggunakan referendum. Referendum sendiri berasal dari kata refer yang berarti mengembalikan.
Secara garis besar, referendum berarti pelaksanaan pemerintahan yang didasarkan oleh pengawasan secara langsung oleh rakyat. Terutama terhadap kebijakan yang telah, sedang, atau akan dilaksanakan oleh badan legislatif atau eksekutif.
Sedangkan menurut KBBI, referendum berarti penyerahan suatu masalah kepada orang banyak supaya mereka yang menentukannya (jadi, tidak diputuskan oleh rapat atau oleh parlemen), penyerahan suatu persoalan supaya diputuskan dengan pemungutan suara umum (semua anggota suatu perkumpulan atau segenap rakyat).”
Referendum sendiri terbagi menjadi dua yaitu, obligator dan fakultif. Referendum obligator adalah referendum yang harus dikakukan melalui persetujuan rakyat terlebih dahulu sebelum undang-undang atau kebijakan dapat dilaksanakan. Sedangkan referendum fakultif ialah referendum yang dilaksanakan setelah suatu kebijakan atau undang-undang diberlakukan.
Referendum sebenarnya hampir sama dengan pemilu untuk menentukan presiden dan wakilnya. Hanya saja, referendum dilakukan untuk mencari solusia tentang hal-hal yang menyangkut masa depan nasib serta rakyat itu sendiri.
Karena proses referedum yang menyangkut masa depan suatu rakiyat di sebuah negara inilah, Mahud MD menolak permintaan referendum Papua. Prof Mahfud MD selaku Pakar Hukum Tata Negara menjelaskan bahwa berdasarkan tata hukum nasional dan internasional Papua tidak bisa meminta referendum.
"Papua dalam pendekatan hukum nasional tidak mungkin meminta referendum, karena dalam tata hukum nasional Indonesia tidak ada referendum," ujar Mahfud MD.
Dalam diskusi di kantor Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), di Jakarta, Selasa (10/09/2019), yang dihadiri oleh Pelaksana tugas (Plt) Kepala BPIP Prof Hariyono dan sejumlah staf khusus BPIP mengatakan bahwa berdasarkan tata hukum internasional yang telah diratifikasi Indonesia, Papua juga tidak boleh meminta referendum.
Ini dikarenakan Papua sudah masuk dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara sah dan diakui hukum internasional.
"Dalam konvensi internasional itu disebutkan, sebuah negara berdaulat yang diakui dunia internasional, dapat mempertahankan wilayahnya, termasuk menjaga wilayah negara dengan pendekatan keamaanan," ujarnya.
Dalam acara tersebut juga, Mahfud menjelaskan bahwa persoalan demo yang menjadi kericuhan di Papua bermula dari persoalan non-hukum tapi kemudian berkembang menjadi persoalan hukum.
Mahfud menilai persoalan non hukum di Papua bermula dari persoalan sepele yakni adanya ujaran kebencian yang terjadi antara oknum aparat dan mahasiswa asal Papua di Surabaya Jawa Timur.
"Namun, persoalan kecil ini disulut menjadi besar di Papua. Apalagi kemudian muncul gerakan separatis, sehingga berubah menjadi persoalan hukum," tuturnya.
Mahfud menjelaskan setelah kasus ini berkembang menjadi persoalan hulum, maka persoalan Papua didapat dapri dua pendekatan yaitu pelaku kriminal dan pelaku separatis.
"Pelaku kriminal adalah pelaku ujaran kebencian, sedangkan pelaku separatis adalah pelaku kerawanan yang mengarah ke referendum," bebernya.
Terkait dengan hal ini, Mahfud mengusulkan untuk melakukan penegakan hukum dengan pendekatan persuasif untuk menuju Papua yang kondusif. Salah satu yang bisa dilakukan ialah tidak diperbolehkan untuk saling ancam.
"Terhadap pendemo yang keras kepala, sebaiknya diatasi dengan pendekatan hukum," ujarnya.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: