INDOZONE.ID - Pemerintah akan menetapkan kebijakan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 mendatang. Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir, mengingatkan kepada Pemerintah, agar pengelolaan pajak benar-benar untuk kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
Sebab, penerapan PPN 12 persen, dinilai memberatkan masyarakat menengah ke bawah termasuk pelaku UMKM.
"Soal penggunaan pajak, jangan sampai lagi ada kisah-kisah seperti dulu, 'lumbung padi banyak dimakan tikus'. Jadi Jangan sampai seperti itu," kata Haedar di Yogyakarta, Senin (18/11/2024).
Meski demikian, pemberlakuan pajak di sebuah negara memang tidak bisa dihindarkan. Apalagi, jika itu pajak progresif.
"Pemberlakuan pajak di sebuah negara memang tidak bisa dihindarkan. Apalagi, jika itu pajak progresif," ucapnya.
Karena itu, Haedar kembali menegaskan, agar pemerintah menerapkan pajak berkeadilan sosial atau pajak Pancasila. Sebab, selama ini pajak juga menyasar kalangan ekonomi bawah.
"Kendati rasionya mungkin sama atau kecil, tetap saja mereka yang berpenghasilan kecil atau menegah, ketika terus dipajaki, perlahan akan habis," ujar Haedar.
BACA JUGA Siap-siap! PPN Naik 12% Mulai Tahun Depan, Ini Daftar Barang yang Terdampak
Menurut Haedar, semestinya penarikan pajak, difokuskan pada usaha-usaha besar, dengan dilakukan secara cermat. Ia mencontohkan, organisasi-organisasi yang bergerak dalam usaha mensejahterakan masyarakat, seperti Muhammadiyah. Yang mana, Muhammadiyah tidak mencari keuntungan.
"Jika pun ada kelebihan di satu usaha, maka akan dipakai untuk program-program pemberdayaan masyarakat. Dan lumayan itu kalau pajak 12 persen dari pengusaha-pengusaha besar itu," ujarnya.
Disamping itu, Haedar Nashir menekankan, saat para pendiri bangsa berdiskusi tentang Indonesia di tahun 1945, mereka merancang sistem ekonomi negara ini, tidak sepenuhnya mengadopsi konsep sosialisme dan kapitalisme murni.
Hal ini sama halnya dengan mahalnya biaya kuliah di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dengan Perguruan Tinggi Swasta (PTS).
"Saya juga tidak menampik, jika masyarakat tetap memilih PTN ketimbang PTS meski mahalnya biaya kuliah hampir sama. Dengan persoalan ini, seharusnya dipahami oleh pejabat publik untuk bagaimana memahami dasar dan spirit dari negara ini dibangun," tutur Haedar dengan nada tegas.
"Karena itu, ketika sudah dapat penghasilan pajak untuk negara, betul-betul untuk negara, dan negara menggunakannya tadi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Itulah makna dari yang kaya membantu yang miskin lewat pajak. Mestinya kan begitu," lanjutnya.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Liputan Langsung