INDOZONE.ID - Tepat 18 Tahun lalu, pada 27 Mei 2006 sekira pukul 06.00 WIB, gempa berkekuatan 5,9 skala Richter (SR) terjadi di Sesar Opak, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Peristiwa kala itu tentu masih terekam dalam ingatan masyarakat. Selain banyaknya korban jiwa, kondisi pasca gempa juga sangat mencengangkan akibat adanya isu tsunami, hingga sulitnya distribusi logistik.
Faizah (65 tahun), Ibu Rumah Tangga di RT 04 Blawong II, Trimulyo, Jetis, Bantul yang menjadi korban gempa tersebut bercerita tentang peristiwa itu. Ketika mulai menceritakan peristiwa itu, dia menyeka air matanya. Ingatannya kembali ke peristiwa 18 tahun yang lalu.
"Nggak kerasa sudah 18 tahun setelah kejadian selamat, alhamdulillah diberikan, masih bertemu anak dan cucu sampai sekarang," katanya pada Senin (27/05/2024).
Ibu tiga anak itu menceritakan saat dirinya sedang memasak air, nasi, dan mengaduk makanan untuk ayam peliharannya. Tak berselang lama, suara gemuruh dari arah barat terdengar.
Seketika, Faizah melihat suami dan juga anaknya yang saat itu sedang tertidur, sudah bangun dan sama-sama menyelamatkan diri dengan keluar dari bangunan rumah.
Dikarenakan puing-puing bangunan yang sudah runtuh, sehingga asap dinding-dinding yang roboh serta aliran listrik yang terputus membuat kondisi sekitar menjadi gelap gulita.
Baca Juga: Pasca Gempa Jogja, Ganjar Adakan Ruang Darurat di Setiap Sekolah
“Keluarnya suasana gelap semua, ngebul semua asap bangunan, keluarnya sampai Allahu Akbar, Allahu Akbar, pokoknya susah sekali, rumah itu semua roboh,” ujarnya.
Tempat tinggalnya pun seketika roboh dengan posisi terbuka, dinding depan roboh ke depan, dinding belakang roboh ke belakang, dinding kanan roboh ke kanan, serta dinding kiri yang roboh ke kiri.
"Robohnya megar, sebelah sini ke sini, belakang ke sana, terus empat tiang penyangga, tenunan itu nggak roboh, genteng masih utuh, dindingnya yang roboh," terangnya.
Ketika proses menyelamatkan diri, dia melihat seorang ibu-ibu yang sedang menggandeng anaknya berteriak 'tsunami, tsunami, tsunami' dari kejahuan. Karena ketakutan warga, isu tersebut kemudian merembet dari mulut ke mulut secara cepat.
Tak lama kemudian, Faizah mengajak keluarganya untuk langsung berlindung di masjid sebrang desa mengingat ingatannya terhadap masjid yang masih utuh saat kejadian tsunami di Aceh.
Setelah satu malam bermalam di sana. Ia bersama keluarganya kembali ke rumah dan memutuskan untuk tinggal di sana sambil sedikit membersihkan puing-puing bangunan yang runtuh.
Bantuan uang tunai dari pemerintah untuk pembangunan rumah pun didapat oleh warga sekitar. Dengan kerjasama warga sekitar dan juga terjunnya para relawan untuk sama-sama membangun rumah, akhirnya perumahan baru para warga terbangun.
Baca Juga: Gempa Bumi Berkekuatan 5,0 M Guncang Sichuan, Tiongkok: Kondisi Tidak Separah Kejadian 2008
“Dapat bantuan uang dari pemerintah, belanja berkelompok, kerja ganti-gantian, ada relawan juga yang bantu, tiga bulan lebih pengerjaan rumah,” ucapnya.
Disinggung soal trauma, dirinya mengatakan tidak ada trauma karena menurutnya, gempa ini merupakan ujian dan manusia hanya bisa menerima dengan sabar dan ikhlas.
“Trauma ya nggak, soalnya itu kan udah ujian, diterima, sabar, ikhlas, aku malah pulang langsung habis kejadian, padahal yang lain di pos pengungsian, soalnya langsung biar cepat bersih-bersih, terus besoknya bisa buat dipakai tidur lagi,” katanya.
Bencana ini pun banyak sekali merenggut jiwa. Faizah mengatakan hampir setiap RT terdapat korban, bahkan sampai meninggal dunia, termasuk warga RT 04 Blawong.
"RT 04 ada yang seketika itu meninggal dan ada yang sakit berat, terus selang berapa hari terus meninggal juga ada," tuturnya.
Konten ini adalah kiriman dari Z Creators Indozone. Yuk bikin cerita dan konten serumu serta dapatkan berbagai reward menarik! Let's join Z Creators dengan klik di sini.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: