Menurut Arsad, konten semacam ini dapat mengubah cara pandang masyarakat terhadap nilai moral dan batas agama.
Ketika dibiarkan tanpa edukasi, masyarakat bisa kehilangan kejelasan antara yang halal dan haram.
“Fenomena semacam ini tidak boleh dianggap remeh. Ketika masyarakat dibiarkan terpapar tanpa edukasi yang benar, maka batas antara yang halal dan haram akan kabur,” jelasnya.
Arsad juga menekankan bahwa larangan ini tidak hanya soal fikih, tapi juga menyangkut perlindungan sosial dan kesehatan masyarakat.
“Secara medis, relasi seksual antar-mahram berisiko menyebabkan kelainan genetik. Secara sosial, hal itu menimbulkan trauma, konflik keluarga, bahkan stigma turun-temurun,” kata Arsad.
Ia mengingatkan, jika hubungan antar-mahram terjadi dalam kehidupan nyata, apalagi melibatkan anak atau unsur paksaan, maka pelaku bisa dikenai sanksi pidana.
“Apa pun bentuknya, entah itu pernikahan, hubungan seksual, maupun eksplorasi fantasi terhadap mahram, semuanya bertentangan dengan prinsip moral, agama, dan hukum. Kita tidak bisa membiarkan ini berkembang tanpa arah,” tambahnya.
Sebagai langkah pencegahan, Kemenag mengajak masyarakat untuk memperkuat edukasi agama di lingkungan keluarga, sekolah, hingga media digital.
Tujuannya agar masyarakat, khususnya generasi muda, paham siapa saja yang tergolong mahram dan apa batasannya.
“Islam bukan hanya mengatur halal dan haram, tapi juga mengarahkan umatnya agar hidup sesuai fitrah, menjaga martabat, dan membangun peradaban yang sehat. Keluarga adalah titik awalnya,” ujar Arsad.
Di tengah maraknya konten digital yang bisa mengaburkan batas moral, Arsad mengajak publik untuk lebih kritis dan tidak sekadar ikut arus.
“Pemahaman yang utuh tentang relasi mahram bukan hanya menjaga kesucian keluarga, tapi juga pondasi bagi generasi masa depan yang kuat dan beradab,” tutupnya.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Kemenag